Keterangan
foto utama: Pasukan Brigade Mobil (Brimob) menembakkan gas air mata dalam
bentrokan dengan massa di Jakarta, Indonesia. (Foto: Reuters/Willy Kurniawan)
Kerusuhan 22 Mei telah memakan korban,
setidaknya delapan jiwa, termasuk seorang anak berusia 15 tahun yang menurut
orangtuanya hanyalah sekedar penonton, bukan pelaku kericuhan. Pihak
polisi mengatakan bahwa mereka tidak menggunakan peluru, hanya gas air mata dan
peluru karet. Mereka mengatakan bahwa mereka hanya melakukan apa yang harus
mereka lakukan, tetapi Amnesti Internasional, menurut investigasi awal mereka
terhadap apa yang terjadi, mengatakan bahwa mereka ‘menggunakan kekuatan yang
tidak perlu dan melanggar hak asasi manusia.
Kerusuhan 22 Mei : 8 Tewas, Penyelidikan Harus Dilakukan Terhadap Brimob
JurnalPasee - Delapan orang tewas saat kerusuhan 22 mei pecah antara
demonstran dan pasukan Brimob sejak Selasa (21/5). Salah satu dari korban tewas
adalah Reyhan Fajari, 15 tahun, korban termuda dalam peristiwa ini.
Pada Rabu dini hari (21/5),
Reyhan yang sedang berkumpul di masjid bersama anggota masjid lainnya. “Jadi
pada saat jelang saur pukul 02.30 WIB itu anak-anak sebaya dia lagi kumpul di
masjid karena dia anggota remaja masjid, kemudian datang temannya mengatakan
kalau di depan sedang kacau,” kata paman korban di kediamannya di Jalan
Petamburan 5, Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Karena
tertarik, Reyhan bersama teman-temannya memutuskan untuk melihat kejadian itu.
Orang tua Reyhan yakin
bahwa Reyhan tidak terlibat dalam kekerasan apapun. Itulah yang membuat ayah
Reyhan, Agus Salim, bertanya-tanya bagaimana dan mengapa ia tertembak.
“Pertama saya lakukan
adalah ke rumah sakit. Tidak ada yang memberi tahu apa yang terjadi. Mereka
hanya meminta saya membawa tubuhnya (Reyhan),”
Sementara itu, ibu Reyhan,
Nurhayati mengaku sangat terkejut saat pertama kali mendengar anaknya
meninggal. Dia tidak percaya anaknya yang masih 15 tahun meninggal secepat itu.
Saat saya tahu, pikiran
saya sudah tidak karuan. Saya tidak percaya dia sudah meninggal,” katanya.
Saudara perempuan Reyhan,
Fitriani Soleha, mengaku kangen dengan candaan Reyhan.
“Kangen sama becandanya,
dia anak yang baik dan penyayang,” katanya.
Pihak polisi mengatakan
bahwa mereka tidak menggunakan peluru, hanya gas air mata dan peluru karet.
Mereka mengatakan bahwa mereka hanya melakukan apa yang harus mereka lakukan,
tetapi Amnesti Internasional, menurut investigasi awal mereka terhadap apa yang
terjadi, mengatakan bahwa mereka ‘menggunakan kekuatan yang tidak perlu dan
melanggar hak asasi manusia.
Pihak Amnesti Internasional
juga mengatakan mereka melihat video kejam di mana enam petugas Brimob yang
mengeroyok dan menendangi seorang laki-laki yang telah meringkuk di tanah.
Video lain menunjukkan
beberapa orang yang berseragam polisi menendangi seorang laki-laki yang telah
ditahan oleh salah satu rekannya.
Menyusul peristiwa
tersebut, aktivis HAM menuntut dilakukannya penyelidikan resmi terhadap taktik
dan tindakan kekerasan yang dilakukan anggota pasukan Brimob saat mengatasi
situasi kerusuhan.
“Polisi memperlakukan semua
orang dengan kejam, termasuk orang-orang yang berpartisipasi dalam protes
damai, orang-orang yang hanya datang untuk melihat, dan orang-orang yang
melempar batu.”
Kericuhan awal minggu ini
diawali dengan demonstrasi damai oleh gerakan massa yang menamakan dirinya gerakan
kedaulatan rakyat setelah KPU mengumumkan hasil Pilpres 2019 yang menunjukkan
adanya kecurangan.
Namun, keluarga Reyhan
Fajari mengatakan bahwa Reyhan sama sekali tidak tertarik pada politik, “Reyhan
hanyalah remaja yang ingin tahu,” kata ayahnya, yang masih bertanya-tanya
mengapa hal itu bisa mencabut nyawanya.(Sumber:Matamatapolitik)
Salam JurnalPasee