Kivlan Zen, Mantan Jenderal yang Kini Dijatuhi
Tuduhan Makar
( Kivlan Zein )
Nama Kivlan Zen selalu ramai terdengar setiap
kali ada demonstrasi dari kubu oposisi, dan bukannya tanpa alasan. Mantan
jenderal angkatan darat ini adalah sosok penggerak mobilisasi massa aksi 411
dan 212 yang menuntut pemenjaraan Ahok. Dan kini, sekutu Prabowo Subianto ini
dijatuhi tuntutan makar, tapi sebenarnya siapakah pria kelahiran Aceh 73
tahun lalu ini?
Oleh: Aziza Larasati (Mata
Mata Politik)
Jurnal Pasee - Nama Kivlan Zen baru-baru
ini ramai diperbincangkan. Kivlan Zen adalah mantan Kepala Staf Komando
Strategis Angkatan Darat Mayjen TNI (Purn), dan telah ditetapkan sebagai
tersangka dugaan hoaks dan makar. Kasus Kivlan Zen ini dilaporkan ke
kepolisian oleh seseorang bernama Jalaludin asal Serang pada 7 Mei 2019 lalu.
Hal ini adalah buntut dari seruan Kivlan untuk mendiskualifikasi paslon 01
Jokowi dan Ma’ruf Amin atas sejumlah pelanggaran dan kecurangan pemilu.
Kivlan disangkakan atas
Tindak Pidana Penyebaran Berita Bohong atau hoaks dengan Undang-Undang (UU)
Nomor 1 Tahun 1946 tentang KUHP Pasal 14 dan atau Pasal 15 serta terhadap
Keamanan Negara atau Makar UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang KUHP Pasal 107 jo
Pasal 110 jo Pasal 87 dan atau Pasal 163 bis jo Pasal 107
Pengacara
Kivlan Zen, Djuju Purwantoro, juga telah mengungkapkan bahwa kliennya telah
ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan perbuatan makar, dan pemeriksaan
terhadap tersangka dijadwalkan akan dilaksanakan pada Rabu (29/5).
Badan
Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi dikabarkan akan memberikan bantuan
hukum kepada Kivlan Zen, serta tokoh-tokoh lainnya yang menghadapi kasus hukum.
Beberapa tokoh lainnya dari kubu Prabowo-Sandi yang tersandung masalah hukum
adalah Eggi Sudjana, Lieus Sungkharisma, Ahmad Dhani, Ratna Sarumpaet, hingga
Amien Rais.
Terkait kasus
ini, Kivlan sempat mengatakan, “saya percaya pada Polri sebagai profesional.
Semuanya saya serahkan pada Polri,” setelah ia diperiksa beberapa waktu yang
lalu.
Namun ia
kemudian mengatakan bahwa tuduhan makar terhadapnya salah alamat. “Saya
didampingi oleh pengacara saya. Semua berdasar hukum. Tidak ada ucapan saya mau
makar.
Makar itu pasal 106, UU pidana barangsiapa yang melakukan upaya untuk
mengubah pemerintah dengan cara memakai senjata. Senjata saya mulut masa mau dibilang makar. Kenapa saya dituduh
makar? Lalu dibilang saya melarikan diri mau ke Brunei, Jerman,” ujarnya kepada
para wartawan.
Kivan Zen
sebelumnya juga pernah ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan makar pada
akhir tahun 2016 lalu, di mana ia dan enam orang lainnya disebut terlibat dalam
Aksi 212 dan diduga akan menggiring massa untuk menduduki gedung MPR/DPR.
Kivlan membantah tuduhan itu, dan bahkan mengatakan bahwa ia tidak hadir pada
peristiwa tersebut.
Kivlan
Zen, bersama Jenderal Nasution dan Prabowo Subianto. (Foto: Istimewa)
KIVLAN ZEN DI BALIK KEBANGKITAN FPI
Mayor
Jenderal TNI (Purn.) Kivlan Zen, SIP, MSi, mantan Kas Kostrad (Kepala Staf
Komando Strategis Angkatan Darat), lahir di Langsa, Aceh, pada 24 Desember 1946
dan menghabiskan sebagian besar masa kecilnya di Medan.
Ia mengambil
jurusan kedokteran di Universitas Islam Sumatera Utara tapi keluar untuk
bergabung di Akmil Magelang. Sedari belia, Kivlan sudah aktif berorganisasi.
Beberapa organisasi yang pernah ia ikuti adalah Pelajar Islam Indonesia (PII)
pada 1962, sekretaris Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Medan, Ketua
Departemen Penerangan KAMI Medan, dan Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia
(KAPPI).
Kivlan lulus
Akmil pada tahun 1971 dan bergabung dengan kesatuan Infanteri, Kostrad,
Angkatan Darat. Kivlan kemudian diangkat menjadi Kepala Staf Kostrad
(Kaskostrad).
Ia banyak
bertugas untuk memberantas pemberontakan, misalnya melumpuhkan Organisasi Papua
Merdeka (OPM) pada tahun 1974 dan sempat ditugaskan di Timor Leste. Tugasnya di
wilayah-wilayah tersebut adalah dalam rangka untuk penegakan kedaulatan NKRI.
Usainya Order Baru dan dimulainya Reformasi, membuat Kivlan dimutasi ke Mabes
TNI AD.
Pada tahun
2016, ia berhasil menyelamatkan 18 WNI yang disandera oleh kelompok teroris Abu
Sayyaf tanpa uang tebusan, dan membebaskan mereka melalui jalur negosiasi.
Kivlan Zen
juga telah menerbitkan buku yang berjudul Konflik dan Integrasi TNI-AD.
Hingga hari
ini, Kivlan Zen tetap aktif menyuarakan isu-isu terkait kedaulatan NKRI dan
kerap mengeluarkan kritik terhadap pemerintah. Hingga ia pun terjerat kasus
baru-baru ini pada tahun 2016 dan 2019, di mana ia dituduh melakukan makar dan
menyebarkan berita bohong, dan telah ditetapkan sebagai tersangka.
Pensiunan
Jenderal Kivlan Zen telah menjadi sekutu Prabowo setidaknya sejak awal tahun
1980-an. Ia adalah salah satu pendiri—pada tahun 1998—kelompok milisi Islam
Pamswakarsa yang kemudian berubah menjadi Front Pembela Islam (FPI). Ia juga
merupakan bekas pemimpin tim kampanye Prabowo dalam Pemilu 2014.
Zen juga
disebut-sebut menjadi salah satu tokoh yang mengatur Aksi Bela Islam tahun
2016. Hanya beberapa jam sebelum demonstrasi pada tanggal 2 Desember 2016, Zen
ditahan oleh polisi karena diduga berencana melakukan pengkhianatan terhadap
Jokowi. Pada bulan April 2017, karena kerumunan massa yang dimobilisasi oleh
Fadli Zon dan Kivlan Zen, Ahok kalah dalam Pilgub Jakarta, dari sekutu Prabowo lainnya, Anies Baswedan.
Sejak
September 2017, Fadli Zon dan Kivlan Zen telah tampil kembali di belakang layar
sebagai tokoh Islam yang berusaha untuk menghidupkan kembali komunisme sebagai
sebuah masalah politik. Kivlan Zen bergabung bersama kelompok-kelompok Islam garis
keras ketika mereka menyerang Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di Jakarta pada
tanggal 18 September 2017, ketika LBH melaksanakan acara diskusi dengan para
korban selamat pembantaian tahun 1965.
Dan ketika
kelompok Islam garis keras melakukan demonstrasi di luar gedung DPR pada
tanggal 29 September 2017—yang mengatakan bahwa Jokowi menekan para kelompok
Islam garis keras dan membiarkan komunisme bangkit kembali—Fadli Zon berada di
sana untuk bertemu dengan mereka dan bersimpati. Sebagai seorang anggota DPR, ia
memberikan legitimasi terhadap klaim mereka mengenai kebangkitan komunisme.
Kritik yang
dilontarkan pada September 2017 kepada Jokowi, sekali lagi dipimpin oleh para
kelompok Islam garis keras. Prabowo menyangkal mendukung kelompok Islam garis
keras; namun begitu, mereka membutuhkan dukungannya. Mereka membutuhkan
kehadiran Zen ketika mereka menyerang kantor LBH pada tanggal 18 September.
Kepala polisi
menjelaskan bahwa polisi mengalami kesulitan ketika menangkap para penyerang
tersebut, karena mereka memiliki dukungan dari para pensiunan pejabat militer
seperti Kivlan Zen. Fadli Zon bukan hanya secara publik bersimpati dengan para
demonstran Muslim radikal pada tanggal 29 September, namun juga beberapa hari
sebelumnya memicu kekhawatiran terhadap komunisme, dan menyuarakan dukungannya
dalam menampilkan film propaganda anti-komunis Suharto tahun 1984. Serangan
kelompok-kelompok Islam garis keras di kantor LBH dan kebangkitan ketakutan
akan komunisme tidak akan seberhasil ini, tanpa dukungan dari Zen dan Zon.
Dalam artikel
Tirto yang berjudul Investigasi
Allan Nairn: Ahok Hanyalah Dalih untuk Makar, penulis Allan
Nairn melakukan wawancara dengan Kivlan Zen yang berisi pernyataannya bahwa
kasus Ahok adalah berkah yang mendorong gerakan massa.
Dalam artikel
tersebut, ia menyatakan bahwa Gubernur Ahok telah memberi “berkah” kepada
gerakan tersebut dengan “keseleo lidahnya” terkait Al-Maidah ayat 51. Dalam
penampilan mereka di muka publik, para pemimpin gerakan diharuskan mengklaim
mereka selamanya terluka oleh ucapan Ahok. Tapi salah satu dari mereka mengakui
secara strategis bahwa pernyataan Ahok itu mereka terima dengan senang hati,
karena ia memungkinkan FPI dan para sponsornya menggeser perimbangan kekuasaan
di Indonesia, melesatkan reputasi mereka dari preman jalanan menjadi pakar
agama.
Meskipun
Kivlan dipandang sebagai golongan yang cenderung ideologis di antara para
jenderal, namun perlu dicatat bahwa banyak rekannya mulai kasak-kusuk terkait
menggulingkan Jokowi. Dalam hal ini, Kivlan termasuk dalam sayap moderat.
Kivlan sering
disebut-sebut sebagai salah satu orang yang berjasa menciptakan FPI setelah
Soeharto jatuh. Dalam percakapan penulis artikel tersebut dengan Kivlan Zen,
Kivlan membantah ikut bertanggung jawab merancang FPI, tapi dia terus membahas secara
rinci bagaimana kelompok tersebut hanyalah salah satu contoh yang lebih luas
dari strategi tentara dan polisi untuk menciptakan kelompok-kelompok sipil
binaan—yang kadang bercirikan Islam, kadang tidak—yang dapat digunakan untuk
menyerang para pembangkang seraya mencuci tangan aparat.
Kivlan
menyatakan bahwa beberapa hari sebelum demonstrasi besar-besaran di Jakarta
pada 4 November 2016—dilansir dari artikel tersebut—ia menerima pesan teks dari
Mayjen (Purn) Budi Sugiana yang memintanya “untuk ikut serta dan mengambil alih
gerakan 411.” Misinya, kata Kivlan, “untuk menyelamatkan Indonesia,” dengan
bergabung bersama pemimpin FPI Habib Rizieq di atas mobil komando selama
demonstrasi, karena “mereka butuh orang untuk mengambil alih massa (di luar
istana), seandainya (Rizieq) ditembak dan mati.”
HUKUM ATAS MAKAR
Arsil, seorang peneliti di
Lembaga Kajian & Advokasi Independensi Peradilan (LeIP), mengatakan kepada
VoA arti dari makar telah disalahpahami secara luas. Dalam kasus Kivlan, dia
pikir kasus makar melenceng terlalu jauh dari hukum.
“Jika, entah bagaimana, dia
terbukti memicu demonstrasi kerusuhan yang kemudian menggulingkan pemerintahan,
hal itu bisa dianggap sebagai makar,” ujar Arsil.
Dalam sejarah, tuduhan
makar telah digunakan terhadap kelompok-kelompok separatis. Pada tahun 2015,
anggota dari gerakan separatis Republik Maluku Selatan (RMS) dipenjara karena
tuduhan makar karena mengibarkan bendera mereka. “Makarnya sendiri tidak harus
berhasil. Hal itu juga bisa didasarkan dari rencana yang terbukti,” ujar Arsil.
Dia menambahkan, tuduhan
makar juga telah digunakan sebagai alat politik. “Bisa diartikan seperti itu,
tiga tahun lalu, ada penangkapan sejumlah lawan politik Jokowi…”
Arsil mengacu
pada penangkapan 10 orang yang diduga telah merencanakan kudeta.(Sumber:Matamatapolitik)
Salam JurnalPasee