PILPRES 2019 YANG MENENTUKAN
JurnalPasee - Jika ingin mengetahui bagaimana kondisi negara saat ini, bisa dibaca sampai habis tulisan ini. Agar kita tidak salah paham.
Oleh: DR. MOEFLICH HASBULLAH
(Pakar Sejarah Islam, Dosen UIN Sunan Gunung Djati)
Mengapa pilpres yang hanya soal pergantian presiden dan kita
sudah pengalaman menyelenggarakannya beberapa kali tapi sekarang ini demikian
panas, tegang, sulit saling mengalah, kecurangan masif berani terang-terangan?
Petahana akan menangkap siapa saja yang dianggapnya provokator bahkan sekarang
dibuatkan hukum oleh Wiranto untuk menangkap siapa saja yang menghina Jokowi.
Sisi lain, oposan akan mengerahkan gerakan rakyat yang disebut people power
walaupun sebuah gerakan damai.
Kata "kalah" sekarang ini, nampaknya tidak akan
diterima oleh kedua belah pihak. Apakah kekalahan tidak akan diterima hanya
oleh kubu 02? Tidak. Kubu 01 juga sama, suasananya tidak akan menerima
kekalahan untuk pilpres kali ini.
Bagi kubu 02, pemilu kali ini penuh rekayasa, karena itulah
kecurangan struktural dan masif disiapkan sejak awal, catatannya di tim BPN
mencapai ribuan, termasuk membangun opini melalui quick count yang diyakini
hanya pesanan semata, hanya konstruksi untuk mempengaruhi pikiran dan mental
masyarakat agar hasil pemilu bisa diterima dari hasil quick count dan
perhitungan KPU.
Bagi kubu 01, pemilu kali tampaknya tidak bisa terima
kekalahan karena diyakininya kelompok Islam radikal menyatu pada kubu 02 yang
dituduhkannya akan merubah NKRI dan Pancasila. Prabowo iya nasionalis tapi dia
didompleng oleh elemen Islam radikal dan ini membahayakan kelangsungan NKRI.
Itulah pikiran di kubu 01.
Maka, bagaimana pun caranya, 02 tidak boleh menang walaupun
itu kekuatan rakyat.
Kalau soal pemilu biasa yang jurdil dan kondisi negara
normal, kubu Jokowi dan kubu Prabowo pasti akan menerima kalah dan menang
sebagai hal yang biasa.
Tapi mengapa kondisi jadi rumit, panas, tegang dan gawat?
Mengapa ada ribuan kecurangan yang dibaca masyarakat dari
berita-berita media dan ditonton langsung dari banyak sekali video yang
beredar?
Mengapa survei dan quick count yang fungsinya membantu
menghitung cepat tapi kali ini kontroversial dan tak diterima oleh satu paslon?
Berarti ada sesuatu. Itu jawabannya.......?
Bukankah pada banyak pemilu sebelumnya, quick count tidak jadi
masalah?
Karena tidak ada nuansa kecurangan apalagi masif. Di pilpres 2019 ini,
masalahnya jelas karena pemilunya tidak wajar. Bukankah sepanjang sejarah
pemilu Indonesia baru kali ini begitu banyak kecurangan yang disaksikan
masyarakat? Mengapa ada korban kematian panitia begitu banyak hingga 550 lebih?
Ada apa? Apa artinya? Sekali lagi, artinya ada sesuatu, ada yang tidak wajar,
ada misteri yang besar yang sekarang jadi kontroversi. Bukankah mudah saja
memahami itu? Diagnosis Ikatan Dokter Indonesia sudah membuktikan mereka bukan
mati oleh kelelahan. Kelelahan bukan penyebab langsung kematian. Bila kematian
massal itu diautopsi, sebabnya akan terbuka.
Mana mungkin sebuah hasil pemilu akan diterima oleh peserta bila kecurangan begitu banyak?
Di negara manapun pasti akan jadi masalah, yang kalah pasti
akan protes karena permainan tidak fair, karena pemilu tidak jujur. Ada apa
dengan kematian panitia KPPS hingga 500 orang lebih? Apakah ini pemilu yang
biasa? Pemilu yg normal dan wajar? Tentu tidak. Semua masyarakat tahu dan
merasakan ini pemilu yang tidak biasa, tidak wajar. Kematian massal ini belum
pernah terjadi sebelumnya. Jadi, sekali lagi, ada apa dengan pemilu pilpres
2019?
Mengamati dan merasakan ketidakwajaran Pilpres 2019
Sebenarnya bukan soal Jokowi lawan Prabowo, bukan hanya soal
pergantian presiden, bukan soal Islam moderat dan Islam radikal, bukan soal
Pancasila vs Khilafah, bukan soal nasionalisme religius vs nasionalisme
sekuler.
Bukan soal rebutan kekuasaan antar anak bangsa. Kalau hanya itu semua,
pemilu tidak akan segawat dan segenting ini. Dalam banyak hal masyarakat kita
sudah terbiasa dan menerima perbedaan.
Maka, jawabannya tidak lain adalah sesuatu yang lebih besar
dari sekedar pemilu.
Yang lebih besar dari sekedar pergantian presiden yaitu
masalah kedaulatan negara dan masa depan bangsa.
Hanya, yang satu kubu seperti
tidak perduli, tidak menyadari, karena lebih memandang aspirasi politik
kelompoknya. Kubu lain tahu, sangat perduli dan melihat urusan yang lebih
besar, yaitu soal kedaulatan bangsa dan negara yang sedang tergadaikan. Soal
ancaman kepada rakyat yang akan jadi kacung di negerinya sendiri.
Ini era global
Negara-negara besar
mencaplok negara-negara lain tidak melalui penjajahan langsung tapi melalui
neo-kolonialisme, melalui imperialisme politik yang gejalanya sudah banyak di
Indonesia tapi masih juga sulit diyakinkan kepada sebagian masyarakatnya.
Samul Huntington menjelaskan secara rasional dalam bukunya
"The Clash of Civilization and Remaking New Order," bahwa
negara-negara raksasa dengan ledakan penduduknya yang sudah tak terkendali di
negerinya karena sudah lewat batas, pasti akan mencari sumber-sumber alam dan
penghidupan dengan membanjiri negara-negara tetangganya dan menganeksisasi
secara ekonomi dan politik. Kolonialisme dulu karena kerakusan, sekarang
kolonialisme karena mempertahankan hidup dari negara yang terlalu besar.
Penduduk Cina sekrang sudah sekitar 1,4 milyar yang sumber
alamnya sudah tak bisa diandalkan.
Bagaimana ia harus mempertahankan hidup?
Seperti air, dengan
meluber keluar, menganeksasi bangsa-bangsa lain. Dan Cina sudah membuktikan itu
dengan jebakan-jebakan utang yang besar yang membuat negara lain tidak berdaya:
Tibet sudah jadi negara Cina, Malaysia sudah terlambat untuk bisa lepas dari
hegemoni Cina.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance
(INDEF) Rizal Taufikurahman mengungkapkan, Zimbabwe memiliki utang sebesar 40
juta dollar AS kepada China dan tak mampu membayar sehingga harus mengganti
mata uangnya menjadi Yuan sebagai imbalan penghapusan utang sejak 1 Januari
2016.
Nigeria yang disebabkan oleh model pembiayaan melalui utang yang disertai
perjanjian merugikan dalam jangka panjang membuat China mensyaratkan penggunaan
bahan baku dan buruh kasar asal China untuk pembangunan infrastruktur di
Negeria.
Sri Lanka yang juga tidak mampu membayarkan utang luar
negerinya untuk pembangunan infrastruktur dan harus melepas Pelabuhan Hambatota
sebesar Rp 1,1 triliun atau sebesar 70 persen sahamnya dijual kepada Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) China. Angola mengganti nilai mata uangnya. Zimbabwe
juga.
Kapan Indonesia sadar?
Hutang Indonesia sudah mencapai 5000an Trilyun dan Indonesia
akan kesulitan membayarnya. Satu-satunya cara adalah intervensi Cina harus
diterima menghegemoni Indonesia dengan dikte-dikte ekonomi dan politiknya yang
kini semakin kuat.
Melalui konglomerasi raksasa, Indonesia harus dibawah kendali
mereka. Jokowi dan petahana adalah akses yang bisa diintervensi yang selama
menambah terus utangnya hingga titik kritis. Luhut Binsar Panjaitan, Menteri
Koordinator Bidang Kemaritiman yang sangat berkuasa, sudah menandatangi 23
kontrak proyek dengan Cina untuk memperkuat dan semakin mengunci Indonesia
dengan utang.
Liputan Kompas dan banyak media lain
Mengkhawatir bahaya
jebakan hutang ini dan banyak tokoh mengkritiknya. Tapi Wiranto malah
menyambutnya dengan membentuk Tim Hukum Nasional yang bernuansa dihidupkannya
politik otoriter Orde Baru.
Kesadaran ancaman atas kedaulatan negara
Disikapi berbeda oleh kedua kubu capres dan masing-masing
pendukungnya. Petahana rezim jokowi menganggapnya bukan masalah karena mungkin
sudah akrab tanpa melihat dampak dan akibatnya,
kubu oposisi sangat merasakan ini berbahaya bagi
kelangsungan bangsa dan negara.
Kapan keduanya akan menyadari bersama?
Mungkin kelak kalau bangsa ini, tanpa sadar dan tidak
berdaya, sudah menjadi bagian dari negeri asing.
Kita baru akan menyadari ketika kedaulatan sudah hilang di
negeri yang dimerdekakan oleh hasil keringat darah rakyat, para pejuang dan
para ulama dari 350 tahun kolonialisme.
Maka, ...
Siapa pemenang pilpres 2019 akan menentukan apakah Indonesia
akan menjadi bangsa kacung dan kekayaan negerinya habis milik asing yang
sekarang sebagiannya sudah terbukti.
Atau menjadi negara dan bangsa "baru" yang
berdaulat sebagai amanat Pancasila dan UUD 1945.
Wallahu a'lam
Salam JurnalPasee