Taiwan Legalkan Pernikahan Sesama Jenis, Apa Efek Bagi Asia ?

Oleh: Enze Han dan Joseph
O’Mahoney (The Washington Post)
JurnalPasee - Taiwan kini resmi menjadi
negara pertama di Asia yang mengizinkan dan secara hukum mengakui pernikahan
sesama jenis. Pernikahan sesama jenis di Taiwan pertama kali didaftarkan hari
Jumat (24/5), kurang dari seminggu setelah badan legislatif pulau otonom
tersebut mengeluarkan undang-undang khusus yang memungkinkan pernikahan sesama
jenis tanggal 17 Mei 2019.
Rancangan undang-undang
tersebut mencakup bahwa semua hak dan kewajiban sipil Taiwan untuk pasangan
menikah akan berlaku bagi pasangan sesama jenis yang sudah menikah. Ini adalah
kemenangan bersejarah bagi komunitas LGBT di Taiwan.
Jalan
menuju undang-undang baru ini tidak mudah dan mengungkapkan berbagai tanggapan
masyarakat Taiwan terhadap hak-hak LGBT. Berikut ini hal-hal yang perlu
diketahui untuk memahami bagaimana legalitas pernikahan sesama jenis
dimenangkan di Taiwan dan apa artinya bagi hak-hak LGBT di seluruh Asia.
JALAN BERLIKU
Anggota
parlemen Taiwan mulai memperkenalkan rancangan undang-undang tersebut tahun
2003. Namun, oposisi yang kuat dari para legislator lain dan banyak masyarakat
sipil menghambat kemajuan RUU itu. Tahun 2013, para advokat LGBT telah
meluncurkan gugatan untuk hak pernikahan yang setara, disarankan oleh Evan Wolfson,
yang memimpin sebagian besar perjuangan kesetaraan pernikahan di Amerika
Serikat.
Dua
tahun lalu, Mahkamah Konstitusi Taiwan memutuskan bahwa pelarangan pernikahan
sesama jenis merupakan pelanggaran atas hak kesetaraan dan kebebasan menikah
berdasarkan konstitusi. Pengadilan menginstruksikan lembaga legislatif untuk
mengubah undang-undang pernikahan yang berlaku saat itu dalam waktu dua tahun.
Sebagai
tanggapan, sebuah kelompok anti-pernikahan gay mendukung
referendum tahun 2018 di mana para pemilih menyetujui langkah yang
mendefinisikan perkawinan secara khusus antara seorang pria dan seorang wanita,
dan melarang revisi hukum pernikahan yang telah ada. Tetapi parlemen Taiwan
menolak hasil referendum sebagai tidak konstitusional dan mengeluarkan
undang-undang khusus yang mengizinkan “ikatan permanen eksklusif” sesama jenis
yang dapat didaftarkan sebagai pernikahan, tanpa mengubah undang-undang
pernikahan sipil.
TINDAKAN
YUDISIAL VERSUS OPINI PUBLIK
Perdebatan
di Taiwan antara legislatif, pengadilan, dan pemilih jauh dari yang terjadi
biasanya tentang hak-hak LGBT di seluruh dunia. Di beberapa negara, reformasi
pernikahan dilakukan dengan atau karena perubahan generasi yang besar dalam
opini publik. Itulah yang terjadi di Irlandia, di mana dalam referendum tahun
2015, 62 persen pemilih mendukung pernikahan sesama jenis yang sah. Demikian pula,
dalam referendum tahun 2017 Australia yang tidak mengikat, 61,6 persen pemilih
mendukung pernikahan sesama jenis. Dalam dua bulan, parlemen Australia pun
mengesahkan undang-undang pernikahan sesama jenis.
Di
negara-negara lain, pengadilan telah mengesahkan pernikahan sesama jenis,
seringkali terlepas dari legislatif maupun opini publik. Itulah yang terjadi di
Bermuda, wilayah Inggris di luar negeri yang memiliki otonomi lokal. Para
pemilih menolak pernikahan sesama jenis dan bentuk pengakuan alternatifnya
yakni ikatan sipil dalam referendum 2016. Tahun 2017 Mahkamah Agung memutuskan
bahwa di bawah jaminan Undang-Undang Hak Asasi Manusia yang melarang tindakan
diskriminasi, pernikahan sesama jenis harus sah. Namun, dalam tujuh bulan,
setelah sekitar setengah lusin pasangan menikah, pemerintah membatalkan kembali
undang-undang itu, menggantikan pernikahan dengan kemitraan domestik sebagai
gantinya.
Setelah
gugatan selanjutnya, Mahkamah Agung Bermuda memutuskan undang-undang baru itu
tidak konstitusional tahun 2018. Pernikahan sesama jenis kembali diberlakukan,
tetapi pemerintah mengajukan banding.
Mengingat
betapa cepatnya opini beralih dalam hal hak LGBT secara umum maupun pernikahan
sesama jenis, khususnya di sebagian besar negara maju, pengadilan Bermuda kemungkinan
besar akan menang. Secara umum, semakin banyak orang LGBT dan dukungan
hak-hak gay dibahas secara publik, semakin mereka diterima
secara sosial, semakin sukses pula upaya dalam memenangkan persamaan hak.
AKANKAH
ADA EFEK RIAK DI ASIA?
Akibatnya,
undang-undang baru Taiwan kemungkinan akan memengaruhi masyarakat di luar pulau
tersebut, kemungkinan dengan memotivasi para aktivis di negara lain di kawasan
Asia untuk mendorong undang-undang serupa. Para peneliti menemukan bahwa
yurisprudensi (case law) dan undang-undang
pro LGBT memiliki efek limpahan yang kuat di yurisdiksi negara-negara tetangga,
membantu memotivasi aktivis, serta mempengaruhi opini publik dan pembuat
kebijakan.
Kita
sudah bisa melihat fenomena tersebut terjadi di Asia. Komunitas LGBT Hong Kong
meminta pemerintahnya untuk mengikuti Taiwan. Para legislator sepertinya tidak
akan mengangkat masalah ini, tetapi hakim mungkin akan tetap mengangkatnya.
Bulan
September 2018, setelah Pengadilan Banding Final Hong Kong memutuskan bahwa
kemitraan sesama jenis harus diakui secara hukum, pemerintah Hong Kong mulai
memberikan visa dependen kepada pasangan sesama jenis. Advokat dapat mengajukan
hak pernikahan sesama jenis dengan mengajukan banding terhadap Basic Law and
Bill of Rights Hong Kong, yang menjamin hak atas kesetaraan.
Di
negara-negara lain, ketentuan konstitusional tentang kesetaraan dan privasi,
yang dijamin banyak negara, dapat digunakan untuk mengajukan perubahan hukum.
HUBUNGAN SEKS GAY TETAP ILEGAL
DI BANYAK NEGARA ASIA
Sayangnya,
hak LGBT masih sangat terbatas di Asia, di mana banyak negara masih
mengkriminalkan hubungan seks sesama jenis. Seperti yang ditunjukkan dalam buku
berjudul British Colonialism and the Criminalization of Homosexuality:
Queens, Crime and Empire, Kerajaan Inggris seringkali memberlakukan
undang-undang kriminalisasi hubungan seks sesama jenis pada negara-negara
koloninya.
Sebagai
contoh, Bangladesh, Brunei, Malaysia, Myanmar, Pakistan, dan Singapura saat ini
memiliki undang-undang tersebut di bawah nomor ayat yang sama, 377, yang
diberlakukan sebagai bagian dari hukum pidana era kolonial.
Brunei,
koloni Inggris hingga tahun 1984, baru-baru ini memperkenalkan undang-undang
yang lebih ketat berdasarkan Syariah Islam yang menetapkan bahwa hubungan seks
gay dapat dijatuhi hukuman rajam hingga mati. Ketetapan tersebut memicu
serangan internasional yang cukup besar. Selebriti kelas dunia seperti George
Clooney dan Elton John menyerukan boikot terhadap hotel-hotel yang dimiliki
Sultan Brunei. Sultan tampaknya cukup terganggu oleh reaksi sehingga ia secara
terbuka menyatakan hukuman mati tidak akan ditegakkan.
Pengadilan
mungkin membatalkan beberapa kriminalisasi tersebut. Setidaknya, itulah yang
terjadi di India. Setelah pertempuran hukum yang panjang termasuk beberapa
putusan dengan efek kontradiktif, bulan September 2018 Mahkamah Agung India
memutuskan Ayat 377 tidak konstitusional.
Sementara
Singapura telah mencabut beberapa undang-undang kriminalisasi homoseksual,
pemerintah Singapura telah mencoba untuk menenangkan kelompok sosial
konservatif dengan mempertahankan Ayat 377A, yang mengkriminalisasi “perilaku
tidak senonoh,” sambil menyatakan bahwa pemerintah tidak akan menegakkannya.
Para aktivis setempat kini tengah menggugat sikap itu di pengadilan.
Sementara
Taiwan telah mengambil langkah penting, mungkin perlu waktu lama bagi
negara-negara Asia lainnya untuk mengejar ketinggalan.
Enze
Han adalah asisten profesor didepartemen politik dan administrasi publik di
Universitas Hong Kong.
Joseph
O’Mahoney adalah pengajar politik dan hubungan internasional di Universitas
Reading di Inggris.
Keduanya bersama-sama
menulis buku berjudul “British Colonialism and the Criminalization of
Homosexuality: Queens, Crime and Empire” yang diterbitkan penerbit
Routledge tahun 2018.
Salam JurnalPasee.