Wali Nanggroe
Aceh, Teungku Malek Mahmud Al-Haytar (Foto: Dok.MODUSACEH.CO)
Wali Nanggroe : Itu Realitas Politik Pasca MoU Helsinki
Jurnal Pasee - Wali
Nanggroe Aceh, Teungku Malek Mahmud Al-Haytar menegaskan. Pernyataan dan
keinginan referendum bagi Aceh yang disampaikan Muzakir Manaf (Mualem),
merupakan reaksi dari realitas politik Aceh pasca MoU Helsinki, 15 Agustus 2005
di Finlandia.
Itu
sebabnya kata Wali Nanggroe, tergantung dari sisi dan sudut mana setiap orang
memandang dan menilainya. Karena itu, jika kemudian muncul dinamika dalam
masyarakat Aceh dan Indonesia, ini menjadi biasa dan lumrah.
“Saya
yang menandantangani MoU itu atas nama GAM. Dan hari ini, saya juga menilai
serta merasakan sendiri betapa kekhususan Aceh yang tertuang dalam MoU dan
turunannya UUPA, masih begitu banyak tersandera,” ungkap Wali Nanggroe Aceh.
Pendapat
ini disampaikan Wali Nanggroe Aceh Teungku Malek Mahmud Al-Haytar dalam
wawancara khusus dengan Muhammad Saleh dari MODUSACEH.CO, Selasa (28/5/2019)
malam di Meuligoe Wali Nanggroe, Banda Aceh.
Menurut
Wali Nanggroe, rakyat Aceh harus berani dan jujur pada hati nuraninya, terkait
nasib 13 tahun sudah MoU Helsinki. “Mari secara terbuka dan jiwa besar kita
kaji dan evaluasi, apakah semua butir-butir MoU Helsinki itu, sudah terlaksana
dengan baik dan sempurna,” ungkap Wali Nanggroe Aceh.
Sebaliknya,
mantan Perdana Menteri GAM ini pun bertanya, apakah MoU Helsinki dan UUPA hanya
satu-satu milik GAM dan dinikmati mantan kombatan serta elit GAM. Atau untuk
seluruh rakyat Aceh? “Bahkan, saya sendiri dihujat dan dicaci maki dari
berbagai sudut serta kesempatan. Tapi saya tidak marah, karena saya paham
mereka tidak mengerti sejarah Aceh dan termakan provokasi pihak-pihak yang
ahistoris dengan Aceh,” sebut Wali Nanggroe Aceh.
Begitupun,
berbeda dengan mantan kombatan GAM dibawah komando Mualem. Mereka merasakan
sendiri kondisi Aceh terkini, terutama realisasi dari MoU dan UUPA. “Nah, MoU
itu mengikat para pihak yaitu GAM dan Pemerintah Indonesia. Disaksikan Uni
Eropa yang difasilitasi CMI. Jadi, ini bukan perjanjian perdamaian main-main
dan tanpa resiko,” sebut Wali Nanggroe Malek Mahmud.
Itu
sebabnya, apa yang diutarakan Mualem, merupakan gambaran dari keresahan yang
terjadi di akar rumput. Dan, dia menyuarakan itu sebagai sinyal kepada
pihak-pihak yang terlibat dalam proses perdamaian antara GAM dengan Pemerintah
Indonesia.
“Termasuk
datang dan mengadu kepada saya sebagai orang tua mereka. Dan, para mantan
kombatan GAM juga marah ketika saya dihina dan caci maki. Tapi, tetap saya
redam dan katakan, itulah dinamika politik di alam demokrasi,” ujarnya.(Sumber:ModusAceh.co)
Salam JurnalPasee