Uang Indonesia (Pixabay)
Dari Zaman SBY Sampai Jokowi, Redenominasi Rupiah Hanya Wacana
Jurnalpasee - Pada Januari 2011 lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) hendak menyederhanakan nilai rupiah atau redenominasi. Dari Rp 1.000
direncanakan menjadi Rp 1.
Bahkan Presiden SBY menunjuk Wakil Presiden Boediono sebagai
Ketua Tim Koordinasi Redenominasi.
Bahkan di era Presiden ke-6 itu, tahapannya yakni :
2011-2012 : Sosialisasi
2013-2015 : Masa Transisi
2016-2018 : Penarikan Mata Uang Lama
2019-2022 : Penghapusan Tanda Redenominasi di Mata Uang dan
Proses Redenominasi Selesai.
Ide tersebut sudah dengan matang direncakanan Darmin
Nasution yang kala itu merupakan Pjs Gubernur Bank Indonesia (BI).
"Redenominasi sama sekali tidak merugikan masyarakat
karena berbeda dengan sanering atau pemotongan uang. Dalam redenominasi nilai
uang terhadap barang (daya beli) tidak akan berubah, yang terjadi hanya
penyederhanaan dalam nilai nominalnya berupa penghilangan beberapa digit angka
nol," kata Darmin kala itu.
Atas restu SBY, dikirimlah sebuah surat yang berisi tentang
Rancangan UU tentang Perubahan Harga Rupiah/Penyederhanaan Rupiah atau RUU
Redenominasi kepada DPR.
Namun, yang disayangkan kala itu adalah DPR memasukkan RUU
Redenominasi pada 2013 menjadi Prolegnas. Padahal di tahun tersebut semua pihak
bahkan pemerintah sendiri telah disibukkan oleh masa jelang pemilu di 2019.
Achsanul Qasasi, sebagai Anggota DPR Komisi XI kala itu
mengakui rencana penerapan Redenominasi harus kandas karena tidak selesai
dibahas.
SBY berganti dengan Joko Widodo sebagai Presiden.
Lama tak disinggung, wacana redenominasi kembali mengemuka
ke publik. Perekonomian Indonesia yang mulai stabil di tengah ketidakpastian ekonomi
global, serta pergerakan inflasi yang terjaga menjadi modal untuk kembali
mengajukan RUU redenominasi.
Sehingga pada akhirnya, BI di bawah Gubernur Agus
Martowardojo pada pertengahan tahun 2017 lalu secara resmi mengajukan
redenominasi ke pemerintah. Rencana ini pun sudah sudah menjadi pembicaraan
antara Presiden Joko Widodo, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dan bank
sentral.
Bahkan, sempat muncul wacana RUU Redenominasi masuk Program
Legislasi Nasional (Prolegnas) 2017, menggantikan RUU Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan (KUP) yang sejatinya sudah cukup lama tak menjadi pembahasan
bersama parlemen.
Meski demikian, Sri Mulyani justru memutuskan untuk tidak
mengajukan RUU Redenominasi ke dewan parlemen dengan alasan belum menjadi
prioritas. Pada saat itu, prioritas pemerintah adalah revisi UU KUP.
Maka dari itu, di masa akhir jabatannya Agus Marto kembali
meminta kepada Komisi XI untuk mempertimbangkan melakukan pembahasan
redenominasi rupiah.
"Jadi kepada bapak dan ibu [komisi XI], bisa dukung
redenominasi," tuturnya.
Jokowi sempat mengatakan pada 2017 lalu. Kebijakan
redenominasi harus dibahas secara mendalam dan memang butuh diskusi panjang.
"Tetap ini diproses sehingga nanti muncul keputusan, tapi semuanya harus
dihitung dan dikalkulasi," ucap Jokowi.
"Untuk pelaksanaan ini masih 11 tahun," kata
Jokowi.
Bank sentral sendiri telah menyusun timeline dalam proses
redenominasi rupiah ini. Sebagaimana yang dilansir dari CNBC, pada 2017 lalu
RUU tersebut disahkan maka tahun 2018-2019 merupakan tahun persiapan.
Nah pada 2020-2024 periode transisi di mana waktu untuk
memperkenalkan rupiah sebelum dan sesudah redenominasi. Masa lima tahun ini
akan digunakan untuk mulai membiasakan penggunaan nilai rupiah yang baru, di
mana dalam RUU tersebut akan diatur semua harga barang dan jasa harus ada tabel
harga lama dan baru.
Namun sekali lagi maaf, semua hanya wacana.(law-justice)