Jokowi Makin Otoriter, Lemahkan Demokrasi Indonesia
Democracy Index 2017 yang dirilis The Economist mencantumkan,
dari 167 negara yang disurvei, penurunan terbesar dalam kebebasan demokrasi
terjadi di Indonesia. Peringkat demokrasi Indonesia turun dari peringkat ke-48
di dunia ke peringkat ke-68 hanya dalam waktu satu tahun.
Jurnalpasee - Seperti yang ditulis Madeline Albright dalam sambutannya
yang brilian tentang bangkitnya rezim otoriter Fascism: A Warning diktator
Italia (Benito) Mussolini pernah dikutip mengatakan bahwa dalam upaya
mengumpulkan kekuatan, adalah bijaksana untuk melakukannya dengan cara seperti
mencabut bulu-bulu seekor ayam cabutlah bulu demi bulu. Yang dia maksud adalah,
“tiap kokok kesakitan si ayam tak akan terdengar terlalu sering, dan seluruh
proses (pencabutan bulu yang menyakitkan) dijaga agar sesenyap mungkin.”
Eric Posner, seorang profesor hukum Amerika terkemuka di
University of Chicago Law School, juga mengamati semakin banyak pemimpin di
komunitas negara-negara demokratis yang mempraktikkan apa yang disebut
“mencabuti bulu ayam.”
“Saya pikir apa yang orang khawatirkan, ketika Anda melihat
negara-negara lain yang telah tergelincir ke dalam otoriterianisme, apa yang
terjadi adalah bahwa para pemimpin negara-negara itu telah melakukannya
(menjadi otoriter) secara bertahap, dan ketika mereka melakukan beberapa hal
(kecil) pada awalnya, sehingga orang-orang tidak menentang yang mana (hal-hal
kecil ini) meningkatkan kekuatan mereka. Begitu mereka memiliki lebih banyak
kekuatan, mereka dapat melakukan lebih banyak hal, mengambil tindakan lebih
banyak.”
Mengenai Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, dia
juga pernah berkomentar, “(Negara) Anda bisa berubah menjadi rezim otoriter
tanpa krisis nyata yang pernah terjadi, dan saya pikir itulah yang seharusnya
menjadi fokus semua orang.”
Di Indonesia, negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, kita
yang berjuang untuk penggulingan Suharto 20 tahun yang lalu dan mencari
inspirasi ke dunia Barat kini tengah menonton polah tingkah politisi sayap
kanan di Amerika Serikat, Eropa dan di tempat lain dengan kekaguman yang nyaris
terang-terangan. Sedihnya, bagi para aktivis dan politisi pro-demokrasi seperti
saya, suar untuk liberalisme telah redup tanpa dapat dijelaskan.
Sayangnya, kita bukan hanya penonton. Orang-orang Indonesia,
meskipun perlahan-lahan, menyadari bahwa praktik Perang Dingin dengan menggunakan
tank, peluru dan kudeta istana untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan sudah
ketinggalan jaman.
Politisi yang terlalu ambisius di tengah-tengah kita tidak
membutuhkan militer seperti sebelumnya: sebaliknya, mereka membuat catatan dari
buku pedoman para pemimpin di negara-negara demokrasi lainnya yang disebut
pemimpin otoriter terpilih yang menggunakan institusi demokrasi untuk
melemahkan atau menghancurkan demokrasi.
Berbagai laporan mengenai kemunduran yang demokratis di
Indonesia mungkin mengejutkan, terutama bagi mereka yang melihat dari luar.
Citra presiden kita, Joko Widodo (Jokowi), adalah pendatang baru politik yang
santai dan kasual. Sebagai mantan penjual furnitur dari Jawa Tengah, Pak Jokowi
adalah karakter yang mirip Forrest Gump, yang memainkan peran superstar dalam
sesuatu yang mirip dengan film Mr. Smith Goes To Washington: tersandung hampir
secara tidak sengaja ke dalam pekerjaan kepresidenan, memiliki niat terbaik
untuk rakyatnya, dan seolah-olah berusaha membalikkan tatanan lama politik
elitis.
Seperti di Hollywood, kenyataan politik di balik kisah yang
diceritakan sering kali sangat bertentangan dengan citra dan narasi yang
disajikan di hadapan kita untuk kita percayai. Ini tercermin dalam Democracy
Index 2017 yang dirilis The Economist: dari 167 negara yang disurvei, penurunan
terbesar dalam kebebasan demokrasi terjadi di Indonesia, turun dari peringkat
ke-48 di dunia ke peringkat ke-68 dalam periode hanya satu tahun.
MEMBALIKKAN NORMA-NORMA DEMOKRASI
Sejak berkuasa lebih dari empat tahun yang lalu, Pak Jokowi
telah secara terbuka mendukung bergulirnya norma-norma demokrasi atau, melalui
tindakan penghilangan, memungkinkan para pemain yang kuat di dalam cabang
pemerintahan eksekutif, legislatif dan yudisial untuk melakukan hal yang sama lebih
seringnya begitu tanpa melakukan protes dalam otoritas moralnya sebagai
presiden.
Hasilnya sejauh ini? Dalam pergeseran otoriter yang
mengingatkan kita pada era Soeharto, pemerintah telah memberikan dirinya
sendiri kewenangan diskresi yang lebih besar untuk mencekal organisasi
masyarakat sipil, dan karenanya mengancam kebebasan berserikat; dalam
undang-undang pidana baru yang disponsori oleh sekutu politik Jokowi yang dapat
segera disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Yang segera menyusul adalah tindakan kejam untuk membatasi
hak-hak minoritas agama; kebebasan berbicara juga telah diserang sebagai akibat
dari revisi undang-undang informasi dan transaksi elektronik (UU ITE) yang
didukung oleh Jokowi, yang telah digunakan beberapa kali untuk
mengkriminalisasi kritik terhadap pemerintah. Dan yang terakhir, independensi
kantor jaksa agung, serta agen anti-korupsi, telah dikompromikan oleh
pemerintahan Jokowi dengan tujuan mengintimidasi politisi oposisi dan aktivis
pro-demokrasi.
Faktanya adalah, orang Indonesia sangat peduli dengan
demokrasi mereka, namun Jokowi tetap menjadi tokoh populer secara
membingungkan. Dan teka-teki ini juga membawa konsekuensi: menurut sebagian
besar survei, Jokowi adalah kandidat yang disukai untuk memenangkan pemilihan
presiden bulan April (artikel ini ditulis pada bulan Januari 2019, red).
Bagian dari alasan popularitas Jokowi yang terus berlanjut,
di samping kepribadiannya yang santai dan sederhana ala Jawa, adalah industri
media lokal yang patuh. Faktanya, konglomerat Indonesia mendominasi outlet
media melalui televisi, radio, dan surat kabar.
Ingin melestarikan dan memperluas kerajaan bisnis mereka di
luar media, konglomerat pemilik media memahami nilai menjilat dengan presiden
dan pemerintahannya. Sebagai contoh, ketika seorang taipan ditanyai oleh staf
seniornya tentang kebijakan editorial surat kabar itu, jawabannya adalah “Anda
dapat meliput dan melaporkan apa pun yang Anda inginkan tanpa campur tangan
saya. Tetapi ada pengecualian. Pastikan Anda tidak pernah mengkritik presiden.”
Alasan lain di balik peluang Jokowi untuk menjadi presiden
selama dua periode adalah saingannya, Prabowo Subianto. Fakta bahwa ia adalah
seorang pensiunan jenderal dengan karir militer yang berwarna, dan ia pernah
menjadi bagian dari keluarga Soeharto, memberi tim kampanye Jokowi amunisi
untuk menggambarkan lawan sang petahana sebagai diktator yang sedang mengintai
jabatan. Prabowo adalah tandingan sempurna bagi Jokowi karena petahana terus
menumbuhkan citranya sebagai pro rakyat.
Namun, ironisnya, apa yang banyak orang tidak sadari adalah
bahwa sejumlah besar penasihat presiden, orang kepercayaan dan anggota kabinet
utamanya adalah tokoh yang berasal dari rezim otoriter Soeharto yang berkuasa
selama 30 tahun yang menjelaskan, dalam banyak hal, naluri otoriter
pemerintahan Jokowi.
Jika Jokowi resmi menang dalam pemilihan tahun ini, maka sah
saja untuk memprediksi bahwa demokrasi Indonesia akan terus menurun.
Oleh: Rizal Ramli (The Business Time)
Penulis adalah mantan menteri keuangan, menteri koordinator
ekonomi, dan terakhir kali menjabat sebagai menteri koordinator urusan kelautan
Indonesia.
Salam Jurnalpasee