Jusuf Kalla Belum Menyerah
Berapa jumlah cawapres dikantong
Jokowi. Banyak yang menyebut jumlahnya 10 orang, dan kini sudah mengerucut
menjadi empat orang. Namun sesungguhnya cawapres Jokowi ada 11 orang. Kalau toh
mengerucut, maka jumlahnya setidaknya masih lima orang.
Oleh : Hersubeno Arief
Jurnalpasee - Seperti disebut oleh Ketua Umum
PPP Romahurmuziy (Romi), nama-nama tersebut adalah : Ketum PKB Muhaimin Iskandar,
Ketum Golkar Airlangga Hartarto, Sri Mulyani, Susi Pudjiastuti, Ma’ruf Amin,
Din Syamsuddin, Moeldoko, Mahfud MD, dan Romi sendiri. Ada juga yang
menyebutkan bahwa nama Gubernur NTB TGB Zainul Majdi, dan Ketua Umum MUI Kyai
Ma’ruf Amin, bahkan nama mantan Gubernur DKI Jakarta Ahok masuk dalam daftar.
Di luar itu ada satu nama lagi yang sudah tidak diperhitungkan, yakni Jusuf
Kalla.
Ya.. nama JK kembali masuk ke
bursa cawapres terkuat Jokowi setelah Partai Perindo mengajukan Judicial Review
ke MK UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Perindo menggugat Pasal 169 tentang
larangan jabatan capres/cawapres dua kali. Ketentuan ini menjadi penghalang JK
untuk maju kembali sebagai cawapres.
Sebelumnya gugatan UU Pemilu yang
diajukan Muhammad Hafiz, Dewan Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja
Singaperbangsa, Perkumpulan Rakyat Proletar untuk Konstitusi di tolak MK.
Alasannya mereka tidak punya landasan hukum (legal standing) untuk melakukan
gugatan. Menurut MK yang berhak melakukan gugatan adalah parpol yang tidak ikut
membahas UU tersebut. Dengan begitu Perindo punya legal standing, dan berhak
mengajukan gugatan.
JK, seperti kata Ketua Tim Ahli
Wapres Sofyan Wanandi sudah menyatakan kesediaannya untuk kembali mendampingi
Jokowi. Syaratnya ada dua. Pertama, demi bangsa dan negara. Kedua, Jokowi
memang menghendakinya.
Masuknya JK kembali ke bursa
cawapres menunjukkan bahwa Jokowi masih belum yakin dengan alternatif pilihan
cawapres yang ada. Selain itu, partai koalisi, –termasuk pendatang baru
Perindo– masih terus melakukan manuver berebut posisi cawapres. Targetnya cukup
jelas, yakni tawar menawar dan bagi-bagi kekuasaan, serta yang tak kalah
penting adalah efek elektoral (coat-tail effect). Bila gugatan ini dikabulkan
MK, maka Perindo dipastikan akan punya posisi tawar yang kuat. Mereka punya
saham besar. Perindo bukan hanya “anak pupuk bawang,” seperti PSI.
JK masih paling kuat
Mengapa Jokowi dan partai
pendukungnya masih berusaha menghidupkan kartu JK yang notabene merupakan stok
lama itu ?
Setidaknya ada tiga alasan.
Pertama, dengan angka elektoral
yang belum terlalu aman, Jokowi perlu figur yang bisa memperkuat dan menutupi
kelemahannya. JK adalah figur yang paling tepat jika dibandingkan dengan
cawapres yang lain. Hal itu setidaknya sudah bisa dibuktikan pada Pilpres 2014.
Peran JK kian dibutuhkan di tengah polarisasi yang kuat antara kubu pendukung
pemerintah versus kubu keumatan.
JK merupakan figur representasi
muslim, dan luar Jawa yang sangat kuat. Dalam diri JK terdapat perpaduan simbol
Islam modernis dan tradisional yang melekat pada Ma’ruf Amin, Mahfud MD, TGB,
Muhaimin, dan Romi sekaligus (5 in 1).
JK adalah salah satu tokoh NU.
Saat ini dia menjadi Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI). Dengan latar belakang
seperti itu dia bisa tetap menjaga kantong-kantong NU yang selama ini menjadi
jualan utama Muhaimin, Romi, atau Ma’ruf Amin. Kantong suara NU ini sangat
serius digarap oleh Jokowi.
Semasa mudanya JK adalah aktivis
Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sama seperti
Mahfud. Namun dibandingkan dengan Mahfud kader ketokohannya di kalangan alumni
PII dan HMI, serta Islam modernis, JK juga jelas jauh lebih kuat. JK juga
diketahui sebagai pendukung Anies-Sandi pada saat hiruk pikuk Pilkada DKI
berlangsung. Jadi JK setidaknya juga punya kedekatan di kalangan koalisi
keumatan.
Sebagai tokoh asal Sulsel, JK
selama ini dipandang sebagai representasi Indonesia Timur. Pengaruh TGB tidak
apa-apanya bila dibanding JK. Jumlah penduduk NTB sangat kecil dan tidak
signifikan. Hanya 4.7 juta jiwa. Ketika terpilih pada periode kedua sebagai gubernur,
TGB hanya memperoleh suara 44.37%.
Kedua, aman bagi Jokowi, aman
bagi partai pendukung. Bagi Jokowi secara politik JK adalah figur yang cukup
aman. Selama lima tahun berdampingan, Jokowi sudah bisa mengukur kekuatan
politik JK. Ditambah usia JK yang sudah lanjut, dipastikan energi politiknya
sudah berkurang. Dia tidak mungkin melakukan manuver politik yang bisa
membahayakan Jokowi. Beda dengan saat JK mendampingi SBY (2004-2009).
Bagi partai pendukung, terutama
Ketua Umum Megawati yang punya kepentingan menyiapkan Puan sebagai capres pada
Pilpres 2024, JK bukanlah ancaman. Agak sulit membayangkan JK yang sudah
berusia 81 tahun akan maju dalam pencapresan 2024. Begitu pula bagi
partai-partai pendukung lainnya. Pilpres 2024 akan kembali ke kondisi zero.
Tidak ada inkumben.
Secara personal JK juga punya
kedekatan dengan Megawati dan Ketua Umum Nasdem Surya Paloh. Hampir dapat
dipastikan bila nama JK yang muncul tidak akan ada resistensi. Begitu pula
halnya dengan Muhaimin, maupun Romi. Rasanya mereka akan kesulitan mencari
alasan menolak JK. Mereka jelas kalah aura. Dalam bahasa Jawa sering disebut
sebagai “kalah awu.”
Begitu juga halnya dengan Golkar.
Airlangga pasti tidak akan menolak bila JK yang dipilih Jokowi. Selain kalah
senior, kehadiran JK juga akan berdampak positif secara elektoral. JK
bagaimanapun merupakan representasi dari Golkar.
Ketiga, bagi kalangan oposisi,
manuver JK juga akan membuat terbatasnya pilihan-pilihan figur yang akan
disiapkan berhadapan dengan Jokowi. Mereka akan kesulitan bila akhirnya
memutuskan mengusung Anies Baswedan sebagai capres.
Agak sulit membayangkan Anies
bersedia head to head dengan JK mengingat kedekatan hubungan personal keduanya.
Dalam bulan ini saja media mendapati Anies dua kali menumpang kendaraan JK
menghadiri sebuah acara. Pertama saat halal bihalal PP Muhammadiyah (4/7), dan
yang kedua saat meninjau venue Asian Games (5/7) JK mengantarkan Anies ke
Balaikota.
Anies bagaimanapun adalah salah
satu kandidat yang digadang-gadang bisa mengalahkan Jokowi. Syaratnya Prabowo
bersedia menjadi King Maker. Nah bila JK akhirnya jadi mendampingi Jokowi
kembali, apakah Anies juga tetap bersedia berhadapan ?
Salam Jurnalpasee
Salam Jurnalpasee