Keraguan Prabowo Terhadap Mahkamah Konstitusi
Di tengah gugatan mereka terhadap hasil Pilpres 2019, kubu
capres oposisi Prabowo Subianto, telah menyerukan kekuatiran tentang
keberpihakan Mahkamah Konstitusi Indonesia. Dua orang asing, Björn Dressel dari
Australia National University dan Tomoo Inoue dari Universitas Seikei di
Jepang, mengadakan penelitian tentang riwayat keberpihakan MK dan posisi mereka
terhadap politik dan pemerintah. Berdasarkan data dari tahun 2004-2016, dalam
75 persen keputusannya, MK menempatkan pemerintah sebagai pihak yang kalah.
Oleh: Björn Dressel (The Conversation)
Jurnalpasee - Awan badai politik tampaknya akan kembali berkumpul di atas
Mahkamah Konstitusi Indonesia. Calon presiden oposisi yang kalah di Pilpres
2019, jenderal purnawirawan Prabowo Subianto, sekali lagi menggugat kemenangan
capres petahana Joko “Jokowi” Widodo di Mahkamah Konstitusi (MK).
Selain menuduh Jokowi melakukan kecurangan dalam Pilpres
2019, Prabowo juga menuntut MK mendiskualifikasi Jokowi dan menyatakan dirinya
sebagai pemenang. Sebelumnya Prabowo telah mengajukan gugatan serupa ketika ia
kalah dari Jokowi dalam Pilpres 2014.
Dengan demikian, sekali lagi Mahkamah Konstitusi diminta
untuk bertindak sebagai wasit independen dalam kontes politik tertinggi di
Indonesia. MK tidak hanya akan menentukan siapa yang akan menjadi presiden,
tetapi juga yang lebih penting ialah masa depan demokrasi Indonesia ketika
legitimasi proses pemilu sedang dipertaruhkan.
Sejumlah pihak memiliki keraguan tentang apakah Mahkamah
Konstitusi akan mampu memberikan keputusan secara tidak memihak. Sejak
penangkapan beberapa hakim pengadilan, termasuk mantan Ketua MK Akil Mochtar
karena suap tahun 2013, publik menjadi tidak percaya pada institusi tersebut.
Pengacara Prabowo, Bambang Widjojanto, mantan Ketua Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), juga menyuarakan keprihatinannya.
Namun, penelitian terbaru Björn Dressel bersama Tomoo Inoue
dari Universitas Seikei di Jepang dapat memberikan harapan bagi kubu Prabowo
karena temuan menunjukkan bahwa independensi Mahkamah Konstitusi dari
pemerintah masih tetap terjaga utuh. Berdasarkan analisis empiris terhadap
kinerja pengadilan antara tahun 2004 dan 2016, penelitian tersebut tidak
menemukan bukti statistik adanya pengaruh politik dalam keputusan pengadilan
dalam mendukung atau melawan pemerintah di kasus-kasus tingkat tinggi.
DATA PENELITIAN
Untuk penelitian, Björn Dressel dan tim mengumpulkan set
data unik yang mencakup kasus-kasus tingkat tinggi antara tahun 2004 dan 2016.
Para peneliti mengidentifikasi kasus-kasus tinggi tinggi ini berdasarkan
paparan mereka di dua surat kabar utama serta publikasi dan diskusi akademik.
Para peneliti menemukan 80 kasus, yang kemudian dianalisis berdasarkan profil
sosio-biografi dari 26 hakim yang telah bertugas di Mahkamah Konstitusi sejak
didirikan tahun 2003. Para peneliti menemukan kasus tingkat tinggi dan kasus
politik telah meningkat secara bertahap dari waktu ke waktu, dengan lonjakan
signifikan selama musim pemilihan.
Dari 80 kasus, 28 persen di antaranya merupakan perselisihan
terkait pemilu, 33 persen tentang hak-hak individu dan kebebasan sipil, 24 persen
tentang pemisahan kekuasaan di antara cabang-cabang pemerintahan, 9 persen
mengenai masalah ekonomi, dan 6 persen sisanya mengenai penggambaran kekuasaan
dari eksekutif.
Meskipun 41 kasus (51 persen) diputuskan dengan suara bulat,
39 kasus (49 persen) memiliki setidaknya satu hakim yang menyatakan
ketidaksetujuan dengan keputusan pengadilan. Jumlah perbedaan pendapat telah
menurun selama bertahun-tahun, mencapai titik terendah baru di masa jabatan
pertama Jokowi. Angka-angka tersebut menunjukkan sedikit perbedaan pendapat di
jajaran hakim Mahkamah Konstitusi.
Menariknya, pemerintah kalah dalam 75 persen dari keputusan
dan hanya memenangkan 25 persen kasus dalam sampel 80 kasus tingkat tinggi.
Dengan demikian, hanya ada sedikit dasar bahwa pengadilan menjadi lebih
cenderung berpihak pada pemerintah. Selain itu, memang benar bahwa terdapat
sedikit perbedaan pendapat di antara para hakim.
Tim hukum untuk BPN Prabowo-Sandi mendaftarkan
dokumen-dokumen gugatan Pilpres ke Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta, 24 Mei
2019. (Foto: Reuters/Willy Kurniawan)
PERTANYAAN MENGENAI PARA HAKIM
Penangkapan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar tahun
2013 dan juniornya Patrialis Akbar tahun 2017, masing-masing karena suap, telah
menimbulkan pertanyaan tentang independensi pengadilan dan kualitas hakim.
Beberapa pihak mempertanyakan apakah proses pengangkatan hakim dipolitisasi
atau apakah ada penurunan dalam kualitas kepemimpinan.
Mahkamah Konstitusi memiliki sembilan hakim. Para hakim
tersebut menjalani masa jabatan lima tahun yang dapat diperpanjang satu kali.
Mereka harus pensiun pada usia 70 tahun.
Dari sembilan hakim, presiden mencalonkan tiga, badan
legislatif mencalonkan tiga, sementara tiga kandidat sisanya dicalonkan oleh
Mahkamah Agung.
Mekanisme pemilihan yang didasarkan pada penunjukan Mahkamah
Konstitusi Korea Selatan tersebut bertujuan untuk mencegah satu lembaga
memonopoli pengadilan dan mencari keseimbangan yang sehat antara penunjukan
eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Penelitian kali ini menemukan bahwa para hakim Mahkamah
Konstitusi berasal dari beragam latar belakang. Tidak seperti pengadilan tinggi
di Thailand, Filipina, dan Malaysia, penunjukan hakim MK tidak didominasi oleh
universitas atau karier yudisial tertentu. Penelitian juga tidak menemukan
bukti bahwa calon dari Mahkamah Agung, parlemen, atau presiden memengaruhi
keputusan seorang hakim.
Dengan menggunakan analisis statistik untuk menganalisis
pola pemungutan suara setiap hakim, penelitian kali ini mendapati bahwa mereka
cenderung berkuasa dalam menetapkan keputusan atas pemerintah ketika masa
jabatan presiden berakhir atau ketika hakim akan pensiun.
Dengan kata lain, para hakim dapat mengambil sikap yang
lebih bertentangan ketika mereka tidak perlu takut akan pembalasan dari seorang
presiden yang masih menjabat, atau tidak perlu khawatir tentang prospek untuk
pengangkatan kembali. Meskipun proses pencalonan dipolitisasi, para hakim
tampaknya bertindak dengan independensi yang cukup besar.
REPUTASI MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM HAL POLITIK
Dalam beberapa hal, Mahkamah Konstitusi Indonesia telah
menjadi contoh yang baik tentang bagaimana pengadilan di Asia telah menjadi
pemain utama dalam politik. Beberapa keputusannya yang menonjol telah
menimbulkan dampak politik dan ekonomi yang besar.
Sebagai contoh, Mahkamah Konstitusi telah membatalkan
privatisasi utilitas listrik, mengecam anggaran pemerintah yang gagal
mengalokasikan dana yang cukup untuk pendidikan, melindungi kelompok agama dan
etnis dan minoritas seksual dari diskriminasi pemerintah, dan berulang kali
terlibat dengan masalah sengketa pemilu.
Sejak tahun 2003, Mahkamah Konstitusi telah mengabulkan
lebih dari seperempat dari semua petisi dan merevisi 74 undang-undang,
membatalkan empat UU sepenuhnya, dan membatalkan sebagian dari banyak lainnya.
Tidak heran bahwa MK dipandang sebagai aktivis dan dipuji karena membantu
konsolidasi demokrasi di Indonesia.
PERLUNYA DEBAT BERBASIS BUKTI
Sementara Mahkamah Konstitusi Thailand menderita bias
politik, Mahkamah Konstitusi Indonesia telah berhasil menyelamatkan diri dari
jebakan-jebakan tersebut. Politik kompetitif di Indonesia dan proses penunjukan
yang beragam tampaknya telah melindungi MK dari pengaruh politik yang tidak
semestinya. Hal ini disebabkan karena tidak ada kekuatan penunjukan tunggal
yang dapat mendominasi proses pemilihan hakim MK.
Namun temuan penelitian para peneliti tersebut tidak
mendukung argumen mengenai kekurangan keberpihakan pengadilan. Kegagalan
profesional, menurunnya perselisihan di jajaran hakim dan beberapa bukti bahwa
pengadilan menjadi corong opini publik menunjukkan bahwa sangat penting agar
publik dapat memastikan pertanggungjawaban Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah Konstitusi juga patut mendapat perhatian ilmiah
lebih. Debat berbasis bukti tentang salah satu lembaga paling kritis di
Indonesia tersebut sangatlah penting. Ketika Indonesia menuju ke akhir babak
dari Pilpres 2019 yang sangat kompetitif, Mahkamah Konstitusi kini memegang
peran yang semakin penting.(sumber:matamatapolitik)
Salam Jurnalpasee