Kilas Balik Detik-Detik Tragedi Mei 1998
Kerusuhan yang terjadi lebih dari
20 tahun yang lalu pada bulan Mei 1998 kembali banyak dibahas sehubungan dengan
Kerusuhan 22 Mei yang baru-baru ini terjadi. Kerusuhan yang dimulai akibat
tewasnya beberapa mahasiswa yang berdemonstrasi menuntut turunnya presiden
diktator Suharto ini menjadi gerbang pembuka yang memungkinkan demokrasi
Indonesia menjadi yang sesungguhnya. Mark Lander dari The New York Times
menuliskan detik-detik kejadiannya yang dipublikasikan oleh surat kabar Amerika
Serikat ini pada tanggal 15 Mei 1998.
Oleh: Mark Landler (The New York
Times)
JurnalPasee - Ibu kota Indonesia, Jakarta
terseret ke dalam pusaran kekacauan hari Kamis, 14 Mei 1998 ketika kerusuhan
dan penjarahan terjadi di hampir setiap wilayah kota dan jumlah kematian terus
meningkat. Banyak orang turun ke jalan-jalan utama Jakarta, membakar mobil,
menghancurkan jendela di gedung-gedung perkantoran, serta membakar dan menjarah
toko-toko.
Menjelang malam, tank-tank dan
kendaraan pengangkut personel lapis baja meluncur melewati pusat kota,
sementara 15.000 tentara mengambil posisi di Istana Presiden dan di berbagai
lokasi lain. Api terus membakar di seluruh wilayah Jakarta, dengan kepulan asap
membumbung hingga berkilometer-kilometer ke segala penjuru.
Agence France-Presse melaporkan
bahwa sekitar 170 orang tewas tanggal 14 Mei 1998 ketika kebakaran terjadi di sebuah pusat
perbelanjaan di Jakarta Timur. Dilaporkan bahwa para pejabat kamar mayat telah
memberikan perkiraan jumlah korban tewas.
Pemerintah Amerika Serikat
mendesak warga Amerika di kota-kota terbesar di Indonesia untuk meninggalkan
negara ini, sementara perusahaan-perusahaan internasional menyarankan para
karyawan mereka untuk tetap di rumah dan tidak bekerja pada hari itu.
Presiden Suharto kembali ke
Jakarta pagi itu, usai melakukan kunjungan singkat ke Mesir setelah protes
mahasiswa meletus dan mengalami eskalasi menjadi demonstrasi massa ketika
tembakan polisi menewaskan enam mahasiswa di sebuah demonstrasi hari Selasa, 12
Mei 1998.
Kantor berita Antara melaporkan
bahwa Presiden Suharto telah memerintahkan pembatalan dua dekrit yang telah
menaikkan harga bahan bakar dan listrik “untuk meringankan beban masyarakat
pada saat krisis ini,” menurut Menteri Pertambangan dan Energi Indonesia
Kuntoro Mangkusubroto.
Pasukan yang dikirim ke
tempat-tempat bermasalah di Jakarta disambut dengan tepuk tangan meriah oleh
para perusuh, sementara para petugas keamanan membalasnya dengan tersenyum.
Pasukan tentara pada umumnya tidak melakukan intervensi untuk mencegah tindakan
penjarahan. Para perusuh dan tentara dengan mudah berbaur satu sama lain.
Kemudian hari Kamis malam, gerombolan remaja berusia belasan tahun terlihat
menumpang kendaraan pengangkut pasukan.
Komandan militer Indonesia masih
dianggap setia kepada Suharto. Tetapi para analis politik mencatat bahwa
militer dapat memainkan peran yang menentukan dalam mengubah situasi melawan
pemerintah Orde Baru Suharto jika mereka memilih untuk memberikan dukungan
kepada gerakan demonstrasi anti-Pemerintah.
Panglima TNI Jenderal Wiranto
mengatakan dalam konferensi pers siang itu bahwa komando telah dikembalikan ke
pusat kota. Yang mengejutkan bagi para diplomat maupun analis lokal ialah
bagaimana Wiranto tidak memberlakukan jam malam, meskipun kehancuran meluas
dari distrik pusat bisnis, ke daerah kantong wilayah etnis Tionghoa di Jakarta
Utara, hingga ke jalan tol menuju bandara di sisi barat Jakarta. Massa perusuh
mencerabut rambu-rambu jalan dan tiang lampu, membakar mobil, menghancurkan
jendela toko, mengosongkan supermarket, hingga menjarah barang dagangan.
Hari Kamis malam, Pangdam Jaya
Sjafrie Sjamsoeddin akhirnya memerintahkan pasukannya untuk menindak massa yang
mengamuk. “Kami harus menghadapi perusuh dan penjarah dengan tegas,” kata
Syafrie dalam pidato yang disiarkan di televisi. “Kami adalah prajurit yang
akan mendukung bangsa dan kami tidak akan pernah menyerah.”
Bank, sekolah, dan bisnis tutup
pada sore hari, mengirimkan gelombang baru orang ke jalanan untuk menyaksikan
dan mengambil bagian dalam kehancuran. Menjelang sore, jalan tol menuju bandara
ditutup. Saksi mata mengatakan bahwa massa menyerang mobil-mobil yang mengarah
ke bandara.
“Kami harus mengubah banyak hal,
bahkan jika itu sangat kejam,” kata Latit, profesor kedokteran gigi di
Universitas Indonesia, yang pagi itu menghadiri unjuk rasa beberapa ribu
mahasiswa di kampus di Jakarta Pusat. Latit, yang masih remaja berusia belasan
tahun dalam demonstrasi 1966 yang menuntut penggulingan Presiden Sukarno,
mengatakan bahwa para mahasiswa di tahun 1998 tidak akan puas dengan apa pun
kecuali pengunduran diri Suharto.
Seperti ratusan pelajar lainnya
selama aksi, ia mengenakan pita hitam di lehernya untuk menghormati enam
mahasiswa yang tewas tertembak oleh pasukan keamanan hari Selasa, 12 Mei 1998,
setelah demonstrasi di Universitas Trisakti.
Suharto mengisyaratkan pada hari
Rabu, 13 Mei 1998 bahwa ia mungkin akan mundur. Pada sebuah sesi dengan warga
negara Indonesia di Kairo, di mana ia menghadiri pertemuan 15 negara
berkembang, Suharto berkata, “Jika saya tidak lagi dipercaya, saya akan menjadi
pandito dan berusaha untuk lebih dekat dengan Tuhan.”
Pernyataan itu menunjukkan bahwa
Suharto bersedia lengser dan menerima peran sebagai penasihat. Suharto membuat
pernyataan serupa bulan Maret 1998 sebelum dia terpilih untuk masa jabatan
ketujuh.
Tetapi Menteri Luar Negeri Indonesia
Ali Alatas menangkis setiap tanggapan pengunduran diri. “Dia (Suharto) tidak
mengatakan dengan tepat ‘mundur,’” tutur Ali Alatas kepada wartawan di Kairo,
menawarkan penjelasan singkat bahwa Suharto akan mendengarkan keinginan rakyat,
tetapi hanya dalam batas-batas Konstitusi.
Para mahasiswa merayakan pengunduran diri Presiden Indonesia Suharto di kompleks parlemen di Jakarta pada tahun 1998. (Foto: AFP/Kemal Jufri)
Di Universitas Indonesia hari
Kamis, di mana spanduk-spanduk yang menuntut perubahan politik digantungkan
dari gedung administrasi bergaya kolonial Belanda, para mahasiswa tidak
berminat untuk memperdebatkan perbedaan semantik dari pernyataan Suharto. “Dia
seharusnya sudah lengser berbulan-bulan yang lalu,” kata Meli, seorang
mahasiswa hubungan internasional berusia 23 tahun yang membagikan selebaran di
aksi kali itu. “Tapi lebih baik terlambat daripada tidak (mengundurkan diri)
sama sekali.”
Dalam pidatonya kepada 5.000
mahasiswa yang bersorak-sorai, Hariati Darmawan, Ketua Ikatan Alumni
Universitas Indonesia, memperingatkan para mahasiswa untuk tidak terseret ke
dalam kekacauan di luar kampus. “Pembakaran kota tidak dilakukan oleh
mahasiswa,” katanya. “Penjarahan dan kerusuhan itu sedang sedang dilakukan oleh
orang luar.”
Namun sementara para mahasiswa
Universitas Indonesia tetap berada di kampus, ribuan mahasiswa dari kampus
lainnya berbaris di seluruh Jakarta sambil membawa spanduk. Ketika satu
kerumunan mahasiswa mencoba berbaris ke Universitas Indonesia, mereka
dihentikan oleh polisi anti huru-hara, yang menembak berulang kali di udara
untuk memaksa mereka pergi. Kerumunan kemudian mengamuk dengan membakar mobil,
menghancurkan jendela, serta merobohkan rambu-rambu jalan dan pagar.
Ancaman yang bahkan lebih besar
datang dari gerombolan orang muda yang membanjiri lingkungan termiskin di
Jakarta, yang telah dihantam keras oleh tingkat pengangguran yang terus
meroket. Seperti dalam kerusuhan pekan sebelumnya di Medan, Sumatera Utara,
banyak aksi kekerasan ditujukan kepada etnis Tionghoa, yang jumlahnya kurang
dari 5 persen dari populasi bangsa tetapi mengendalikan sebagian besar
perekonomian Indonesia.
Bank-bank dan toko-toko milik
orang Tionghoa hancur, mengirimkan awan asap di atas distrik etnis Tionghoa di
Jakarta Utara. Laporan Reuters mengatakan bahwa enam warga Tionghoa dibakar
hingga tewas di sebuah bar hari Kamis. Peristiwa itu menyusul kematian 12 orang
Tionghoa yang terperangkap di sebuah gedung yang terbakar selama kerusuhan hari
Rabu pagi, 13 Mei 1998.
The Associated Press melaporkan
bahwa puluhan penjarah tewas ketika mereka terjebak di sebuah pusat
perbelanjaan di Jakarta Timur yang telah dibakar oleh para perusuh.
Kekerasan memengaruhi warga
Tonghoa kaya maupun miskin. Menurut laporan, perusuh menghancurkan rumah Liem
Sioe Liong di Jakarta, seorang miliarder Tionghoa dan salah satu teman terdekat
Suharto. Para diplomat mengatakan bahwa para anggota etnis Tionghoa menelepon
Kedutaan Besar Amerika Serikat dengan panik hari itu untuk memohon bantuan.
Mereka memadati jalan tol ke
bandara, berharap dapat mengejar penerbangan ke Singapura atau Hong Kong. Para
perusuh menjarah toko-toko milik warga Tionghoa tepat di belakang kompleks
kedutaan di Jakarta Pusat.
Dari atap hotel bertingkat tinggi
di Jakarta Pusat, kota berpenduduk 10 juta jiwa ini saat itu tampak seperti
bentangan luas neraka. Kolom asap besar membumbung ke segala arah, dengan
kebakaran baru meletus setiap beberapa menit. Helikopter polisi berputar-putar,
sementara di jalanan ambulans berjalan melalui kerumunan orang yang berteriak
dan bertepuk tangan di setiap persimpangan. Di puncak semua hiruk-pikuk itu,
suara azan bergema dari pengeras suara masjid-masjid di seluruh ibu kota.
Menjelang petang, Jakarta tampak
dikepung. Para pemilik toko memasang perlindungan untuk membentengi toko-toko
mereka, menyemprotkan tulisan “pribumi” menggunakan cat di bagian depan toko
mereka. Sebuah hotel di Jakarta Pusat memasang spanduk yang menyatakan dukungan
untuk reformasi politik di pintu masuknya. “Saya tidak terlalu tertarik, tetapi
staf saya mengatakan itu akan menjadi ide yang bagus,” kata manajer umum
kelahiran Skotlandia itu yang menolak menyebutkan namanya.
Tentara dan polisi menjaga
berbagai gedung universitas dan kantor pemerintah, tetapi kedua kelompok
keamanan itu bereaksi dengan sangat berbeda terhadap gerombolan massa. Polisi
anti huru-hara berdiri dengan hati-hati dengan perisai plastik menutupi wajah
mereka, sementara tentara berjalan dengan santai menuju kerumunan.
Terlepas dari jumlah mereka yang
besar, para prajurit dan polisi tampak kalah jumlah oleh kerumunan yang
jumlahnya terus melonjak. Kerusuhan dan penjarahan terjadi dalam beberapa blok
dari hotel-hotel termahal di Jakarta, daerah kantong yang ditetapkan untuk
dilindungi oleh angkatan bersenjata. Para perusuh menyerbu sebuah toserba di
samping Hotel Sari Pan Pacific, menghancurkan jendela dan melemparkan pakaian
kepada orang-orang di jalan di bawah. Di sebuah gerai McDonald’s, pemiliknya mencopot
simbol lengkungan emas khas mereka untuk menghindari memprovokasi para
penjarah.
Bagi semua arus rasial dalam
kekerasan saat itu, tidak ada yang meragukan target utama kemarahan publik:
Presiden Suharto. Markas besar Departemen Sosial, yang dijalankan oleh putri
sulung Suharto, Siti Hardiyanti Rukmana, turut dihancurkan.
Saat matahari terbenam, sekitar
200 orang berkumpul di depan Grand Hyatt Jakarta, yang dimiliki oleh seorang
konglomerat yang dikendalikan oleh salah satu putra Suharto, Bambang Trihatmodjo,
dan meneriakkan slogan-slogan anti-Suharto. Serangkaian tank dan pasukan
pengangkut segera tiba tak lama kemudian untuk membubarkan kerumunan.(sumber:matamatapolitik)
Salam JurnalPasee