Serangkaian kawat berduri yang dipasang di luar gedung
Mahkamah Konstitusi di Jakarta. Panel yang terdiri dari sembilan hakim akan
memutuskan pada hari Jumat, 28 Juni 2019 atas gugatan Prabowo Subianto yang
mengklaim bahwa Pilpres 2019 telah dicurangi. (Foto: Reuters)
Klaim Kecurangan Pilpres 2019, Indonesia Menanti Keputusan MK
Drama politik di Indonesia masih belum usai, seiring negara
ini menantikan keputusan hasil Mahkamah Konstitusi sehubungan klaim kecurangan
Prabowo di Pilpres 2019. Sejauh ini, kemungkinan mantan jenderal itu
memenangkan gugatannya sangatlah kecil, karena tim hukumnya tidak berhasil
menghadirkan bukti konkret yang mendukung klaim tersebut. Sementara itu, rakyat
Indonesia terlihat sudah lelah dengan proses pemilu dan kemelut politik yang
berlarut-larut.
Oleh: Nur Asyiqin Mohamad Salleh (The Straits Times)
Jurnalpasee - Drama, intrik, dan serangkaian informasi yang mengalir cepat
telah disajikan sepanjang empat hari pekan lalu dalam gugatan hukum capres
oposisi Prabowo Subianto yang mengklaim bahwa Pilpres 2019 telah dicurangi.
Hari Senin (24/6), Mahkamah Konstitusi (MK) mulai membahas
kasus ini dengan putusan diharapkan akan keluar hari Jumat, 28 Juni 2019.
Keputusan yang mengikat tersebut telah diharapkan banyak orang Indonesia akan
mengakhiri ketidakpastian politik selama berbulan-bulan.
Jika panel sembilan hakim Mahmkamah Konstitusi menetapkan
hasil resmi Pilpres 2019 yang telah diumumkan Komisi Pemilihan Umum (KPU), itu
akan membuka jalan bagi capres petahana Joko “Jokowi” Widodo untuk melanjutkan
berbagai rencana untuk masa jabatan keduanya, dan meninggalkan Prabowo tanpa
ada jalan lain untuk memenangkan kursi kepresidenan.
Tetapi jika MK memutuskan akan memenangkan Prabowo, hasil
yang dianggap sangat tidak mungkin oleh para analis, itu bisa berarti putaran
lain dalam saga yang sudah berlarut-larut, dan kemungkinan pengulangan
pemungutan suara untuk rakyat Indonesia yang sudah merasa lelah dengan proses
pemilu.
Para hakim akan banyak melakukan penilaian dalam beberapa
hari ke depan, dengan berbagai pihak telah mengajukan tumpukan dokumen serta
sederet saksi dan ahli sebagai bukti di pengadilan.
Tetapi yang menjadi intinya adalah apakah MK percaya bahwa
kubu Prabowo telah berhasil menguatkan kasus bahwa “kecurangan besar-besaran,
terstruktur, dan sistematis” selama Pilpres 2019 telah terjadi pada skala yang
cukup untuk mengubah hasil pemilu.
Prabowo telah gagal meyakinkan MK tentang hal itu pada
gugatan hukum pasca pengumuman kekalahannya di Pilpres 2014, ketika ia kalah
dari Jokowi dengan selisih tipis 6,3 poin, dengan perolehan 46,85 persen suara
dan kalah dari dari Jokowi dengan perolehan 53,15 persen suara.
Kali ini, margin suara di antara keduanya kian melebar
menjadi 11 poin, dengan Jokowi meraih 55,5 persen suara.
Para pengacara Prabowo sekali lagi berusaha untuk
menggambarkan plot surat suara palsu untuk menambahkan suara yang mendukung
Jokowi, dengan sejumlah saksi menuturkan ancaman pembunuhan dan panggilan
telepon misterius yang mereka terima yang dimaksudkan untuk mengintimidasi
mereka. Para saksi tersebut juga bersaksi tentang penyimpangan pada daftar
pemilih dan berbagai kejadian mencurigakan di tempat pemungutan suara (TPS).
Kubu Prabowo kini telah memiliki amunisi tambahan.
Jokowi, menurut mereka, bukan hanya kandidat presiden dalam
Pilpres 2019, tetapi juga capres petahana yang dipersenjatai dengan aparat
negara dan memiliki pengaruh luas untuk memastikan dirinya sendiri menang.
“Tidak hanya penyalahgunaan kekuasaan tetapi juga
penyalahgunaan fungsi, penyalahgunaan sumber daya negara,” kata Bambang
Widjojanto, kepala tim hukum Prabowo, dilansir The Straits Times, Senin (24/6).
“Dia telah menyalahgunakan posisinya sebagai kandidat petahana, memanfaatkan
jabatan tertinggi di negara ini.”
Tim hukum Jokowi dan KPU telah menepis klaim tersebut,
menekankan sepanjang persidangan bahwa penggugat tidak dapat memberikan bukti
konkret untuk setiap tuduhan yang diajukan.
Para pengacara Prabowo telah menghadirkan 14 saksi untuk
hari kedua sidang, sesi maraton yang dimulai pukul 9 pagi hari Rabu (19/6) dan
berakhir hampir jam 5 pagi hari Kamis (20/6), sebagai upaya untuk mendukung
klaim mereka.
Tetapi beberapa saksi tampak goyah ketika didesak memberikan
bukti. Sejumlah saksi juga dicecar hakim karena telah menyampaikan penjelasan
yang tidak jelas. Seorang saksi dari Boyolali, Jawa Tengah mengklaim telah
menemukan amplop yang diisi dengan formulir penghitungan suara di sebuah
lapangan, tetapi kemudian mengakui bahwa dia tidak bisa melihat kertas tersebut
dengan baik dan berpikir demikian hanya karena ukuran kertas yang “besar dan
lebar.”
Para pengacara Prabowo juga dikecam karena tidak memberikan
bukti untuk masalah daftar pemilih, termasuk klaim bahwa ada 17,5 juta pemilih
yang bermasalah, seperti sejumlah pemilih yang konon memiliki nomor induk
kependudukan (NIK) yang tidak valid.
Mengutip klaim tentang KTP palsu, Hakim Enny Nurbaningsih mengatakan
bahwa, “Jika ada bukti, tolong tunjukkan. Bukti sudah terdaftar dalam pengajuan
dokumen pengadilan, tetapi tidak terlihat secara fisik di sini. Jika Anda ingin
menunjukkan kepada kami buktinya, sekarang adalah kesempatannya. Apakah Anda
memilikinya? Buktikan kepada kami.”
Sudahkah para pengacara Prabowo menghasilkan bukti yang
mereka butuhkan untuk meyakinkan Mahkamah Konstitusi bahwa kecurangan pemilu
telah merampas kemenangan dari tangan mereka? Tanggung jawab pembuktian tetap
berada pada mereka sebagai penggugat.
Para hakim harus memutuskan dalam beberapa hari mendatang.
Keputusan mereka akan menentukan apakah Indonesia akhirnya dapat berlanjut di
bawah kepemimpinan periode kedua Jokowi, atau apakah harus kembali berkutat
dalam kerumitan sebelumnya jika gugatan Prabowo untuk mendiskualifikasi Jokowi
dan cawapres Ma’ruf Amin atau mengadakan proses pemilu ulang dikabulkan.
Sampai keputusan itu muncul, Indonesia masih harus menunggu
dengan cemas.(mata-matapolitik)
Salam Jurnalpasee