Membungkam Muslim Cyber Army. Mungkinkah ?
Penangkapan sejumlah orang yang mengaku sebagai kelompok The Family Muslim Cyber Army oleh polisi sampai sekarang masih mengundang sejumlah pertanyaan. Siapa sesungguhnya mereka ?
Jurnalpasee - Sejumlah penggiat medsos muslim
yang penasaran, mencoba menelusurinya. Mereka menemukan fakta bahwa akun
@cak_luth yang diduga sebagai salah satu tersangka utama kelompok ini Muhammad
Luth atau Luthfi, ternyata sering mencuit hujatan kepada FPI dan Imam Besar FPI
Habib Rizieq Shihab. Dari jejak digitalnya dia diketahui menjadi pendukung
mantan Gubernur DKI Ahok dan Presiden Jokowi. Cebongers begitu kalangan MCA
menyebut mereka.
Benarkah tudingan tersebut ?
Polisi membantahnya. Menurut polisi akun-akun milik Luth telah disita polisi,
dan tidak ada yang menggunakan akun @cak_luth. Bantahan polisi tidak serta
merta meredakan kecurigaan bahwa pengungkapan tersebut merupakan upaya untuk
melemahkan, bahkan membungkam MCA.
Pemantauan yang dilakukan oleh
Ismail Fahmi dengan menggunakan mesin pemantau percakapan di medsos Drone
Emprit, menunjukkan fakta pengungkapan kelompok yang dituding sebagai produsen
hoax dan ujaran kebencian ini setidaknya mempunyai dua tujuan. Pertama, meredam
hoax khususnya yang menyerang pemerintah. Kedua, melemahkan MCA.
Tujuan pertama memerangi hoax
tentu harus kita dukung penuh. Cuma yang menjadi catatan seperti kata Ketua MPR
Zulkifli Hasan jangan tebang pilih. Jadi siapapun penyebar hoax dan ujaran
kebencian harus ditangkap dan dihentikan. Tidak hanya yang menyerang
pemerintah, namun juga yang dilakukan oleh pendukung pemerintah.
Seruan yang sama juga disampaikan
oleh Presiden PKS M Sohibul Iman. Dalam pengamatan Sohibul ada akun dan portal
pendukung pemerintah yang kerjanya menyebar hoax dan ujaran kebencian, namun
sampai sekarang tidak ditindak. Salah satunya adalah portal Seword.com.
Hoax, ujaran kebencian apalagi
yang berbau SARA sangat berbahaya dan bisa merusak kesatuan dan persatuan
bangsa. Soal ini sangat clear. Dalam agama, hoax hukumnya sangat berat, sama
dengan fitnah. Lebih kejam dari pembunuhan.
Majelis Ulama Indonesia (MUI)
juga telah mengeluarkan sebuah panduan bagaimana penggunaan medsos yang sesuai
dengan kaidah agama. Dengan begitu seorang MCA sejati, yang sangat menghormati
ulama, tidak akan melakukan itu.
Bagaimana dengan tujuan kedua,
yakni melemahkan MCA? Siapa yang berkepentingan melemahkan MCA, apa tujuannya?
Soal ini memang bukan menjadi tugas polisi untuk menjelaskan, apalagi
mengungkapnya.
Masalahnya sudah berkaitan dengan politik, pertarungan kekuasaan.
Polisi seperti dikatakan Kombes
Irwan Anwar dari Direktorat Cyber Crime Mabes Polri fokus pada kasus penyebaran
hoax, dan ujaran kebencian, tanpa melihat siapa mendukung siapa. Sampai disini
sikap polisi sudah benar, dan seharusnya memang begitu.
Bila kita menggunakan data
penelusuran yang dilakukan oleh Drone Emprit, setidaknya kita bisa mendapatkan
gambaran mengapa sampái muncul kesimpulan bahwa pengungkapan kasus tersebut
bertujuan melemahkan MCA.
Kata kunci pertama adalah
pengakuan pelaku The Family MCA telah menjadi anggota selama lima tahun.
Pengakuan ini mengejutkan banyak pegiat MCA. Sebab kata atau term MCA baru
muncul kurang dari dua tahun terakhir. Tepatnya setelah mantan Gubernur DKI
Ahok kepleset lidah mengutip Surat Al Maidah ayat 51 di Kepulauan Seribu.
Dari jejak digital, Ismail Fahmi
bahkan bisa dengan tepat menyebutkan jam, hari, dan tanggal kapan pertamakali
kata MCA muncul dan digunakan. “Saya bangga menjadi bagian Muslim Cyber Army
….#PenjarakanAhok,” digunakan oleh @ahmadyani1178, pada tanggal 13 Desember
2016 pukul 4.45 AM (pagi).
Twit tersebut meretweet status
sebelumnya “{Perang Media Sosial} Muslim Mega Cyber Army Meluluhlantakkan Ahok
Cyber Army–@maspiyuuu tanggal 13 December 2016, pukul 3.49 AM (pagi).
Apakah sebelum itu kata MCA sudah
digunakan? Kemungkinan ada. Ketua GNPF MUI Habib Rizieq sering menyerukan jihad
di cyber, dengan menjadi cyber army. Seruan Habib Rizieq Shihab inilah yang
bisa dianggap sebagai tonggak munculnya MCA.
Percakapan di medsos soal MCA
mulai mereda setelah Pilkada DKI. Namun kembali meninggi setelah kasus tuduhan
chat museum Habib Rizieq Shihab, dan penangkapan kelompok Saracen yang disebut
juga menjadi produsen hoax dan ujaran kebencian.
Setelah lama reda, percakapan MCA
kembali meningkat setelah polisi mengumumkan penangkapan 14 orang yang disebut
sebagai The Family MCA. Akun-akun pro pemerintah mem-buzz isu ini dengan tujuan
membuat framing bahwa MCA adalah produsen hoax. Targetnya membuat malu, dan
melemahkan MCA.
Target tersebut berdasarkan pemantauan
Drone Emprit tidak tercapai. Alih-alih melemah, MCA malah melakukan perlawanan
balik, dalam jumlah yang sama besar, bahkan lebih besar.
Mungkinkah MCA dibungkam?
Keinginan untuk melemahkan
apalagi membungkam MCA, bila melihat realitas masyarakat kita adalah suatu hal
yang naif. Cara menakut-nakuti, framing dan membuat semacam labeling, tidak
akan mempan.
Ada beberapa alasan yang dapat
menjelaskan hal itu.
Pertama, MCA bukanlah sebuah
organisasi formal, kelompok cair. Kalau toh mau disebut sebagai organisasi,
adalah organisasi tanpa bentuk (OTB). Hampir semua muslim di Indonesia yang
concern dengan kepentingan umat, mereka adalah MCA.
Hanya saja peran dan kadar
militansinya berbeda-beda. Namun semua bergerak bila terjadi isu yang merugikan
kepentingan umat.
Harus diakui ada diantara mereka
yang sering menyebarkan hoax, namun nampaknya tidak dilakukan secara sadar,
apalagi mempunyai motif ekonomi. Mereka adalah muslim yang mempunyai ghiroh
keagamaan tinggi, namun naif.
Kedua, jumlahnya sangat besar
sebagai konskuensi Islam menjadi agama terbesar di Indonesia. Mayoritas dari
mereka adalah generasi native digital yang sangat terkoneksi secara global.
Mereka sangat melek politik, dan aware dengan berbagai persoalan kenegaraan.
Ketiga, sebagai generasi native
digital, sebagian besar mereka lahir pada tahun 80-90an. Mereka hidup di era
ketika Indonesia telah menjadi negara demokrasi. Dengan begitu mereka juga bisa
disebut sebagai native democracy.
Salah satu fitur utama demokrasi
adalah kebebasan menyatakan pendapat, termasuk kritik terhadap penguasa. Mereka
adalah generasi yang sangat kritis dan tidak segan menyampaikan pendapat,
bahkan protes bila tidak setuju dengan kebijakan pemerintah.
Keempat, sebagai generasi yang
lahir di alam demokrasi, mereka tidak pernah merasakan represi dari rezim yang
berkuasa seperti masa Orde Baru. Dalam memori kolektif mereka tidak ada
ketakutan terhadap penguasa.
Sebaliknya bila ada sebuah
pemerintahan, atau aparat pemerintah yang mencoba menakut-nakuti maka hal itu
danggap sebuah anomali, bahkan penyimpangan yang harus dilawan. Dalam era
demokrasi, pemerintah bukanlah penguasa, tapi orang yang mendapat mandat untuk
menjalankan administrasi pemerintahan.
Kelima, mereka melakukan semua
itu secara sukarela. Tidak ada mobilisasi. Ini adalah sebuah gerakan yang
tumbuh secara organik, natural. Mereka seperti cendawan, akan selalu tumbuh
kembali setiap musim hujan. Bisakah kita mengubah sebuah musim yang menjadi
bagian dari hukum alam.
Kalau mau dicari siapa penyandang
dananya, dipastikan tidak akan ketemu. Cukup bermodal paket kuota internet, dan
gadget, mereka sudah menjadi pejuang MCA.
Cara paling ampuh untuk
melemahkan dan membungkam mereka, bukan dengan menakut-nakuti, tapi justru
melakukan akomodasi. Dengar aspirasi mereka. Akomodasi kepentingan dan apa yang
menjadi concern mereka.
MCA seperti air bah, tidak ada
cara untuk membendungnya. Cara yang paling bijak adalah membuat kanal agar air
yang deras itu tersalurkan dengan baik, bermanfaat. Bila terus dibendung, bukan
tidak mungkin suatu saat berubah menjadi banjir bandang.
Niatan membungkam dan melumpuhkan
MCA seperti orang yang meninju angin, bila tidak berhati-hati malah bisa menuai
badai !!
Salam Jurnalpasee