Militer Amerika Rangkul Kopassus, Perkuat Posisi Hadapi China
AS menjatuhkan sanksi kepada pasukan elit Indonesia,
Kopassus, selama dua dekade, karena pelanggaran hak asasi manusia, tetapi kini
berubah pikiran dan akan segera melanjutkan latihan perang bersama Kopassus
dengan adanya ancaman persaingan dari China.
Oleh: John McBeth (Asia Times)
Jurnalpasee - Setelah hampir 20 tahun berada dalam hubungan yang dingin,
Pasukan Khusus Indonesia yang dulu terkenal, atau Kopassus, akan melanjutkan
pelatihan tempur dengan rekan-rekan Amerika-nya, memanfaatkan kebutuhan akan
tenaga medis yang lebih baik untuk memecahkan kebekuan yang ditinggalkan oleh
embargo militer Amerika Serikat (AS) yang telah lama berlangsung.
Setelah hubungan yang dingin itu berakhir, kedua unit elit
itu akan melanjutkan latihan perang tahun depan, yang hingga saat ini dilarang
di bawah Amandemen Leahy suatu undang-undang yang melarang bantuan militer AS
ke unit pasukan keamanan asing yang melanggar hak asasi manusia dengan
impunitas.
Senator Demokrat Patrick Leahy seorang anggota Kongres enam
periode yang hampir secara tunggal mendikte kebijakan AS terhadap Indonesia
sejak sanksi itu pertama kali diberlakukan memperkenalkan amandemen hukuman
tersebut dengan pandangan khusus pada Kopassus sebagai bagian dari Foreign
Operations Appropriations Act tahun 1998.
Ini akan menjadi langkah terakhir dalam normalisasi hubungan
yang sekarang melibatkan lebih dari 200 latihan dan keterlibatan
militer-ke-militer lainnya dalam setahun, yang menggarisbawahi pentingnya
metode strategis yang diberlakukan Washington terhadap negara terbesar di Asia
Tenggara ini, seiring persaingannya dengan China kini makin panas.
Para pejabat AS mengatakan bahwa mereka merencanakan untuk
melaksanakan proyek-proyek bantuan di kepulauan Natuna kepulauan kecil di
bagian selatan Laut China Selatan di mana China
mengklaim hak atas daerah penangkapan ikan tradisional di perairan di
dalam zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia tersebut.
Washington baru-baru ini mengumumkan bahwa mereka telah
memasok delapan pesawat tanpa awak Boeing Scan Eagle ke Indonesia, dilengkapi
dengan kamera elektro-optik, infra-merah, dan resolusi tinggi, untuk
meningkatkan pengawasan terhadap Laut Natuna Utara yang baru dinamai ulang.
Pasukan Kopassus bersiap untuk upacara pembukaan latihan
bersama anti-teror di Kelapa Dua, Depok-Jawa Barat. (Foto: AFP/Bay Ismoyo)
Komandan Kopassus Mayor Jenderal Nyoman Cantiasa mengatakan
bahwa dia ingin perwira bintaranya mencapai tingkat kompetensi, di mana mereka
dapat menjaga operator pasukan khusus yang terluka parah untuk tetap hidup
selama tiga hari di lapangan jika perlu, sebelum melakukan evakuasi.
Cantiasa (51 tahun) yang lahir di Bali yang pengalaman
awalnya di Kopassus adalah bersama unit kontraterorisme Detasemen 81 sebelumnya
adalah komandan regional di Papua, satu-satunya provinsi di Indonesia dengan
pemberontakan aktif, meskipun dalam tingkat rendah.
Embargo AS atas pertukaran militer diberlakukan setelah
tentara Indonesia membunuh sejumlah demonstran Timor di halaman gereja Dili
pada tahun 1991 meskipun pelatihan dengan US 1st Special Forces Group yang
berbasis di Okinawa berlanjut di bawah radar, sampai referendum berdarah Timor
Timur delapan tahun kemudian.
Hubungan kedua militer akhirnya dipulihkan di bawah
pemerintahan Republik George W. Bush pada tahun 2005, tetapi Kopassus tetap
menjadi pengecualian karena catatan hak asasi manusia yang mengerikan di Timor
Timur dan provinsi-provinsi pemberontak lainnya di Aceh dan Papua.
Dibutuhkan upaya enggan dari Tentara Nasional Indonesia
(TNI) hingga tahun 2010 untuk menyingkirkan 18 perwira Kopassus terakhir yang
dituduh oleh PBB dan AS telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia sebuah
syarat bagi pasukan elit baret merah Indonesia yang sangat terlatih untuk
memenangkan kembali hati Amerika.
Lebih penting lagi, bahkan beberapa kritikusnya yang paling
keras mengakui bahwa catatan 5.000 resimen yang kuat telah meningkat secara
signifikan sejak memberlakukan reformasi internal dan mulai mengambil kursus
hak asasi manusia dengan Komite Palang Merah Internasional (ICRC).
Satu-satunya noda baru-baru ini terjadi pada bulan Maret
2013, ketika sekelompok oknum prajurit pasukan khusus menyerbu sebuah penjara
di pinggiran kota Yogyakarta, dan dengan cepat mengeksekusi empat tahanan yang
telah menikam hingga mati seorang kolega yang sedang tidak bertugas dalam
sebuah pertengkaran di klub malam.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada saat itu
bertindak cepat untuk meredam upaya tentara untuk melakukan “balas dendam
spontan”, dan mencegah pengadopsian dari apa yang ia sebut tindakan “main hakim
sendiri.”
Sembilan tentara kemudian dijatuhi hukuman penjara mulai
dari 15 bulan hingga 11 tahun.
Meskipun hubungan pasukan khusus Indonesia-AS dinormalisasi
pada tahun 2010, namun pelatihan sejak saat itu hanya berfokus pada pendidikan
dan penyisipan parasut ketinggian tinggi, di mana senator Leahy dan Departemen
Luar Negeri AS memastikan bahwa latihan tempur bersama tidak termasuk dalam
agenda.
Ironisnya, ketika Presiden AS Barack Obama mengunjungi
Indonesia untuk menghadiri KTT Asia Timur 2011, Kopassus dan tentara biasa
tetap berada di dua lingkaran dalam penjagaan keamanan di bandara Bali, meninggalkan
pasukan polisi untuk berjaga sendirian yang biasanya bertanggung jawab atas
keamanan internal—di perbatasan.
Baru pada awal tahun 2018, Menteri Pertahanan AS James
Mattis berjanji untuk memeriksa kembali masalah tersebut selama kunjungan ke
Jakarta, di mana ia disuguhi pertunjukan aneh tentara Kopassus yang meminum
darah ular yang telah mereka bunuh.
Pasukan Kopassus Indonesia dalam ritual membunuh ular
dilakukan untuk menyambut Menteri Pertahanan AS Jim Mattis, Januari 2018.
(Foto: Twitter)
Sekarang, setelah kunjungan pelaksana tugas Menteri
Pertahanan AS Patrick Shanahan baru-baru ini, pintu tampaknya terbuka untuk
dimulainya kembali ikatan penuh, meskipun Kopassus dan mitra pelatihannya telah
dengan bijak memilih untuk ‘menguji ombak’ terlebih dahulu dengan berupaya
meningkatkan pertolongan pertama unit ini dan kemampuan manajemen trauma.
Duta Besar AS untuk Indonesia Joseph Donovan, minggu ini
mengindikasikan bahwa tingkat keterlibatan lanjutan pada saat ini hanya berlaku
untuk Detasemen 81 dalam perannya sebagai kekuatan kontraterorisme, dan bahwa
AS akan mengambil pendekatan yang hati-hati untuk langkah-langkah selanjutnya.
Meskipun tidak ada perbedaan yang jelas antara bantuan
militer yang mematikan dan yang tidak mematikan, namun modifikasi pada Amandemen
Leahy memungkinkan pembebasan jika Kementerian Pertahanan AS dan Kementerian
Luar Negeri AS setuju bahwa suatu negara telah mengambil semua langkah korektif
yang diperlukan.
Sumber-sumber Washington mengatakan bahwa mereka percaya
pelatihan tempur bersama dapat dilanjutkan tanpa benar-benar mengubah
undang-undang.
“Semua ini akan konsisten dengan kewajiban hukum kami,
termasuk Amandemen Leahy,” kata Donovan kepada Asia Times. “Saya tidak tahu
apakah itu akan mengharuskan hukum untuk berubah di masa depan. Apa yang kami
lakukan sekarang tidak memerlukan perbaikan legislatif, tetapi kami telah
berkonsultasi dengan Kongres mengenai hal ini.”
Leahy (79 tahun) anggota Senat yang paling senior dan
pembantu urusan luar negerinya, Tim Rieser, yang disebut-sebut sebagai salah
satu staf paling kuat di Kongres, mendikte kebijakan militer AS terhadap
Indonesia sepanjang tahun 1990-an, dan memasuki era demokrasi tanpa pernah
menginjakkan kaki di negara ini.
Walau mereka dibenarkan dalam menekan Indonesia atas budaya
impunitasnya, namun pengaruh penindasan mereka yang tetap bertahan setelah
jatuhnya Presiden Soeharto, sering kali membuat frustrasi para diplomat Amerika
yang ingin memberi penghargaan kepada Indonesia karena transisi cepat menuju
demokrasi.
Meskipun ada pemulihan hubungan militer pada tahun 2005,
namun hal itu terjadi tiga tahun sebelum Leahy berubah sikap terhadap seluruh
masalah, sebagian besar karena dukungannya terhadap kandidat presiden saat itu
Barack Obama, yang masih merasakan ikatan emosional yang kuat dengan negara di
mana ia menghabiskan sebagian masa kecilnya.
Bagaimanapun, kenangan dari masa lalu masih terasa. Beberapa
pensiunan perwira Kopassus telah dikaitkan dalam beberapa pekan terakhir dengan
kekerasan yang mengikuti kegagalan mantan komandan pasukan khusus Prabowo
Subianto untuk memenangkan pemilihan presiden 17 April 2019.
Di antara mereka adalah Fauka Noor Farid, salah satu dari
sebelas anggota Tim Mawar, unit penyamaran yang bertanggung jawab atas
penculikan dan penyiksaan aktivis pro-demokrasi pada 1997-1998, yang
menyebabkan Prabowo diberhentikan dari pasukan bersenjata.
Tentara AS dan Indonesia dalam latihan bersama dalam sebuah
file foto. (Foto: Twitter)
Meskipun dijatuhi hukuman 16 bulan penjara karena perannya
dalam penculikan tersebut, namun Farid tidak pernah dipecat dari militer, naik pangkat
dari kapten menjadi kolonel, dan bahkan bertugas di Aceh sebelum akhirnya
dipaksa untuk pensiun pada tahun 2009 di bawah tekanan AS yang berkelanjutan.
Masih berusia 49 tahun, Farid adalah teman sekelas akademi
militer 1992 dari kepala pasukan keamanan utama Mayor Jenderal Maruli
Simanjuntak, menantu Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Panjaitan,
yang memimpin pasukan di balik serangan di penjara Yogyakarta tahun 2013.
Maruli lolos dari kecaman dari kepemimpinan militer pada
saat itu, karena dia baru mengambil alih posisi di Grup 2 Kopassus jabatan yang
banyak diincar pada tengah malam itu juga.
Salam Jurnalpasee