Presiden Jokowi – ditemani Kepala BKPM Thomas Lembong –
ketika meninjau sistem pelayanan PTSP. (Foto: Antara)
Mungkinkah Jokowi Lepas Beban ?
Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengungkapkan bahwa dirinya
sudah tidak memiliki beban lagi dalam menjalankan kebijakan-kebijakannya dalam
lima tahun mendatang. Namun, faktor-faktor ekonomi dan perbedaan kepentingan
bisa jadi turut menghantui Jokowi 2.0.
Jurnalpasee - Terpilihnya Jokowi-Ma’ruf Amin dalam Pilpres mungkin
membawa kembali harapan dan angin segar bagi sebagian masyarakat. Apalagi, sang
presiden telah menekankan kembali bahwa dirinya telah terbebas dari beban yang
dihadapinya dalam lima tahun sebelumnya.
Angin segar ini mungkin sangat terasa di kalangan investor.
Pasalnya, paslon lawan Jokowi, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, selalu mengusung
arah dan janji kebijakan proteksionis yang dapat menghambat alur investasi.
Kemenangan Jokowi pada Pilpres lalu turut dianggap telah
mendorong kenaikan peringkat kredit Indonesia milik lembaga-lembaga pemeringkat
Standard and Poor’s (S&P) Global Ratings, Moody’s, dan Fitch. Kenaikan
peringkat ini membuat Indonesia semakin layak untuk menjadi tempat
berinvestasi.
Investor boleh saja merasa lega dengan terpilihnya Jokowi
kembali. Mantan Wali Kota Solo tersebut disinyalir memiliki keinginan untuk
melanjutkan dan menambahkan proyek-proyek infrastruktur lebih banyak lagi –
seperti pembangkit listrik dan bandar udara – guna meningkatkan pertumbuhan
ekonomi Indonesia.
Belum lagi, sejalannya kepentingan investor dan arah
kebijakan Jokowi juga didukung oleh sebagian besar masyarakat. Dalam periode
pertama Jokowi, sederet infrastruktur di penjuru wilayah Indonesia – seperti
Moda Raya Terpadu (MRT) Jakarta dan Jalan Tol Trans-Jawa – juga dapat dibilang
berhasil terlaksana.
Apalagi, masyarakat dianggap merasa puas dengan hasil kerja
sang presiden. Gelombang mudik Idulfitri beberapa waktu lalu misalnya, disebut-sebut
telah menjadi poin tambahan bagi keberhasilan pemerintahan Jokowi.
Namun, terlepas dari keberhasilan-keberhasilan Jokowi
tersebut, apakah benar Jokowi telah lepas dari segala bebannya? Jika beban
tersebut masih ada, apa sebabnya ?
Dihantui Beban ?
Jokowi dalam beberapa kesempatan selalu mengatakan bahwa
dirinya tidak memiliki beban lagi dalam menjalankan kebijakan-kebijakan “gila”
dalam lima tahun mendatang. Namun, pernyataan Mantan Wali Kota Solo tersebut
disebut-sebut belum tentu benar.
Kebijakan-kebijakan reformatif Jokowi, seperti pembangunan
infrastruktur, dalam lima tahun mendatang dianggap tetap memiliki beban dari
segi ekonomi. Dalam sebuah artikel Bloomberg, ekonom dari Oxford Economics
Singapura, Sung Eun Jung, menjelaskan bahwa sang presiden masih memiliki banyak
beban dalam lima tahun mendatang.
Menurut Sung, kebijakan-kebijakan infrastruktur Jokowi telah
memberi banyak beban bagi perekonomian Indonesia. Pasalnya, kebijakan-kebijakan
tersebut telah menyebabkan melebarnya defisit fiskal dan eksternal, komplain
investor, dan melemahnya nilai rupiah.
Laporan Kementerian Keuangan memang menunjukkan defisit
fiskal yang melebar. Seperti ungkapan “lebih besar pasak dibandingkan tiang,”
kondisi defisit ini terjadi akibat pengeluaran negara yang lebih besar
dibandingkan dengan penerimaannya.
Dalam laporan keuangan Januari 2019, defisit fiskal telah
melebar hingga 0,28 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Belanja negara
telah mencapai 6,3 persen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019,
yaitu Rp 153,8 triliun. Padahal, pendapatan negara baru bernilai Rp 105,1
triliun (lima persen dari target setahun).
Belum lagi, nilai rupiah sempat melemah hingga menyentuh
kisaran nilai Rp 14 ribu per dollar AS. Jika dibandingkan dengan tahun 2014
silam yang hanya Rp 11 ribuan per dollar AS, nilai rupiah bisa dibilang melemah
jauh dan sempat mencatat rekor terburuknya.
Terlepas dari situasi fiskal dan moneter yang menghantui
perekonomian Indonesia, pemerintahan Jokowi tetap ingin melakukan penggenjotan
tingkat pertumbuhan ekonomi. Salah satu cara yang diajukan untuk mewujudkannya
adalah peningkatan investasi.
Pemerintahan Jokowi memiliki target pertumbuhan ekonomi
sebesar 5,3 hingga 5,6 persen pada tahun 2020. Guna mencapai tingkat
pertumbuhan tersebut, Menkeu Sri Mulyani mengungkapkan bahwa Indonesia perlu
penambahan investasi sebesar 7 hingga 7,4 persen.
Target pemerintah untuk meningkatkan investasi ini tentunya
tidak bebas dari kritik. Peneliti Institute for Development of Economics and
Finance (INDEF), Bhima Yudhistira Adhinegara, misalnya, menilai target
pemerintah tersebut tidak realistis dan akan kembali mengancam defisit fiskal
Indonesia.
Bhima menilai target tersebut sulit untuk dipenuhi karena
beberapa hal, seperti kebijakan pajak dan kondisi perekonomian global yang
dapat terdampak oleh situasi politik di negara lain. Amerika Serikat misalnya,
akan melaksanakan Pemilu pada 2020 yang disebut-sebut akan berdampak pada
ekonomi global.
Selain itu, faktor regulasi turut menjadi beban yang dapat
menghantui Jokowi 2.0 dalam lima tahun mendatang. Sebelumnya,
peraturan-peraturan investasi memang sempat menjadi batu ganjalan bagi
pemerintahan Jokowi.
Berbagai regulasi ketat yang berlaku – disertai dengan
ketidakpastiannya – di Indonesia disebut-sebut telah menghambat laju investasi.
Regulasi daerah dan beberapa regulasi nasional di sektor-sektor tertentu dianggap
menyulitkan para investor.
Regulasi-regulasi investasi infrastruktur di bidang
pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) misalnya, disebut-sebut telah menghambat
berbagai stakeholders dalam mengikuti tren investasi dunia pada energi
terbarukan, seperti di Eropa.
Selain PLTS, investasi dalam infrastruktur pembangkit
mikrohidro (PLTMH) juga dinilai terhambat oleh peraturan yang berlaku.
Ketentuan-ketentuan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Alam (ESDM) No. 50
Tahun 2017 dinilai masih membuat para investor melarikan diri.
Beda Kepentingan ?
Namun, seperti yang dijelaskan sebelumnya, regulasi nasional
bukanlah penghambat satu-satunya bagi laju investasi di Indonesia. Berlakunya
berbagai peraturan daerah (Perda) menciptakan ketidakpastian dan kerumitan bagi
para investor.
Ganjalan Perda ini sempat menjadi perhatian Jokowi. Mantan
Wali Kota Solo tersebut menilai banyaknya Perda yang diberlakukan oleh
pemerintah-pemerintah daerah membuat proses investasi berbelit-belit sehingga
para investor malas berinvestasi.
Padahal, guna meningkatkan investasi di Indonesia,
pemerintahan Jokowi telah menerapkan sistem Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)
yang diberlakukan melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Sang
presiden menilai bahwa seharusnya izin investasi dapat selesai hanya dalam waktu
tiga jam melalui sistem tersebut.
Namun, persoalan justru muncul di tingkat daerah. Pada
tingkat pemerintah daerah, proses investasi tampaknya memakan waktu lebih lama
dan lebih rumit.
Jokowi pun memberikan beberapa contoh program investasi yang
mengalami kesulitan di daerah. Beberapa di antaranya adalah program investasi
listrik dan pertanian yang prosesnya hanya membutuhkan waktu 19 hari di BKPM
tetapi dapat memakan waktu sebanyak 726-775 hari di tingkat daerah.
Berlakunya regulasi-regulasi yang mengatur investasi ini
tentu membawa dampak buruk bagi negara. Menurut Anne O. Krueger dalam
tulisannya yang berjudul “The Political Economy of the Rent-Seeking Society”
dan Susan Rose-Ackerman dalam “The Political Economy of Corruption,”
pemberlakuan berbagai peraturan pemerintah dalam hal impor dan izin bisnis
justru meningkatkan kesempatan dan tendensi perilaku koruptif pejabat negara.
Selain kepentingan koruptif, kepentingan politik yang
berbeda-beda antar-pejabat pada tingkat daerah dan nasional turut memengaruhi
berbelitnya proses investasi di Indonesia.
Barry Hindess dalam tulisannya yang berjudul “‘Interests’ in
Political Analysis” menjelaskan bahwa sebuah kebijakan, praktik, atau keadaan
tertentu merupakan bentuk dari kepentingan individu atau kelompok yang
menguntungkan bagi individu atau kelompok tersebut.
Menurut Hindess, kepentingan inilah yang memengaruhi
keputusan dan reaksi seorang pejabat negara dalam hubungannya dengan
aktor-aktor politik lain. Perbedaan regulasi investasi di tingkat nasional bisa
jadi berhubungan dengan kepentingan politik yang berbeda.
Perbedaan kepentingan ini semakin mungkin memengaruhi
apabila terdapat perbedaan afiliasi partai politik antara pemerintah pusat dan
daerah. Kaare Strom dalam tulisannya yang berjudul “Inter-party Competition in
Advanced Democracies” menjelaskan bahwa kompetisi dan konflik kepentingan
antar-partai turut memengaruhi perbedaan dalam kebijakan publik yang
dihasilkan.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan misalnya,
mempermasalahkan PTSP izin investasi yang diterapkan oleh pemerintah pusat.
Menurut pejabat yang diusung oleh Gerindra dan PKS dalam Pilgub 2017 ini,
berbagai persoalan PTSP yang tak mau diungkapnya mendorong pemerintah DKI
Jakarta untuk membuka sistem perizinan sendiri.
Keinginan Anies itu pun dikritik oleh Menko Perekonomian
Darmin Nasution. Menurut sang menteri, upaya yang dilakukan Anies tersebut akan
memperburuk indeks kemudahan berbisnis Indonesia karena dapat memperumit proses
perizinan.
Pada akhirnya, kebijakan reformatif Jokowi yang menekankan
pada investasi guna meningkatkan tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap
lah memiliki beban. Beban ini justru berasal dari pemerintah-pemerintah daerah
yang bisa saja menghambat visi Jokowi akibat adanya perbedaan kepentingan di
antara dua tingkat pemerintahan tersebut, baik kepentingan korupsi maupun
kepentingan politik.
Mungkin, seperti lirik rapper Drake, Jokowi terlalu berfokus
dan berpikir pada beban masa lalunya di periode pertama. Namun, tampaknya, sang
presiden tetap akan memiliki beban lanjutan. Menarik untuk ditunggu
kelanjutannya.(matamatapolitik)
Salam Jurnalpasee