Keterangan foto utama: Dalam foto yang diambil bulan Mei
2019, dan dirilis oleh Tentara Pembebasan Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka,
pria dewasa dan anak-anak dari Tentara Pembebasan Papua Barat berpose sambil
memegang senjata di wilayah Nduga di pusat dataran tinggi provinsi Papua,
Indonesia. (Foto: via AP)
OPM Rekrut Anak Dibawah Umur Jadi Tentara
Konflik bersenjata yang terus bergemuruh di Papua telah
memicu lahirnya generasi pejuang baru, beberapa di antara mereka masih berusia
di bawah 18 tahun–yang menurut Statuta Roma berarti masih anak-anak. Juru
bicara Tentara Pembebasan Papua Barat mengakui, memang ada tentara anak di
antara pejuang mereka, tapi mendiskripsikannya sebagai bagian dari perjuangan
mereka merebut kemerdekaan dari Indonesia. Kelompok-kelompok yang berkampanye
untuk mengakhiri penggunaan tentara anak mengatakan bahwa mereka kadang-kadang
direkrut secara paksa tetapi juga ada kemungkinan mereka bergabung dengan
militer dan kelompok bersenjata karena tekanan budaya, untuk perlindungan atau
uang untuk keluar dari kemiskinan.
Oleh: Stephen Wright (AP News)
Jurnalpasee - Konflik bersenjata yang telah lama terjadi antara TNI dan
rakyat Papua yang menginginkan kemerdekaan termasuk remaja dan anak laki-laki
usia tanggung, telah menyoroti bagaimana upaya keras Indonesia untuk memadamkan
gerakan telah menghasilkan generasi pejuang baru.
Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat, yang telah
berperang melawan TNI di wilayah paling timur Indonesia sejak awal tahun
1960-an, dan rakyat Papua yang secara damai mengadvokasi kemerdekaan mengakui
bahwa anak-anak muda telah terlibat dalam konflik ini. Tetapi mereka juga
menggambarkan anak-anak ini sebagai pejuang yang bersedia berperang melawan
negara Indonesia karena operasi militer di Papua.
Hukum internasional mendefinisikan seorang anak di bawah 18
tahun dan perekrutan dan penggunaan anak-anak di bawah 15 untuk keperluan
militer adalah kejahatan perang berdasarkan Statuta Roma tahun 2002 tentang
Pengadilan Pidana Internasional. Hampir 170 negara termasuk Indonesia telah
meratifikasi perjanjian PBB yang mewajibkan pemerintah untuk menghentikan
perekrutan militer siapa pun di bawah 18 dan bekerja untuk mengakhiri
eksploitasi militer anak-anak oleh kelompok-kelompok bersenjata negara dan
non-negara.
Sebby Sambom, juru bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua
Barat yang tinggal di Papua Nugini, mengakui bahwa pejuangnya termasuk
orang-orang di bawah 18 tahun, menggambarkannya sebagai bagian dari sejarah
Papua Barat dan perjuangan untuk kemerdekaan.
Pejuang Papua tidak pernah dipersenjatai dengan baik tetapi
telah memerangi Indonesia sejak pemerintah mengambil alih wilayah kaya mineral
itu dari Belanda pada tahun 1962. Rakyat Papua, yang telah menyatakan
kemerdekaannya pada tahun sebelumnya, melihat orang Indonesia sebagai penjajah
yang memperkuat kontrolnya dengan referendum palsu pada akhir 1960-an.
Bagi pemerintah Indonesia, Papua adalah hadiah yang kaya
dengan sumber daya mineral yang tidak akan pernah dipisahkan dari Indonesia.
Pemerintah mengatakan wilayah itu adalah hak Indonesia menurut hukum
internasional karena merupakan bagian dari kekaisaran Hindia Belanda yang
merupakan dasar bagi perbatasan modern Indonesia.
Keberadaan tentara anak-anak “adalah tanda bahwa konflik
Papua Barat jauh lebih serius daripada yang diakui dunia,” kata Veronica Koman,
seorang pengacara hak asasi manusia yang sering menyoroti dugaan pelanggaran
Polri dan TNI di wilayah tersebut.
“Papua Barat membutuhkan intervensi internasional segera,
karena tentara anak-anak itu adalah korban. Pendekatan keamanan pemerintah
Indonesia telah menciptakan konflik yang tidak dapat diselesaikan dengan cara
membinasakan generasi demi generasi rakyat Papua Barat,” katanya.
Sebuah foto yang diambil pada bulan Mei oleh seorang anggota
Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat di daerah Nduga di dataran tinggi
tengah di Papua menunjukkan empat laki-laki yang tampaknya berusia sekitar 15
tahun bahkan mungkin lebih muda, dengan empat lelaki yang lebih tua, semuanya
memegang senjata militer.
Sebuah video yang direkam oleh Tentara Pembebasan Nasional
Papua Barat di daerah yang sama awal tahun ini menunjukkan beberapa anak lelaki
yang sama, salah satunya memegang senapan, dan remaja lainnya berdiri di antara
sekelompok sekitar 40 pria bersenjata yang berkumpul untuk mendengarkan pidato
tentang kemenangan militer mereka sejak tahun 2017.
Yang juga ada dalam video itu adalah Ekianus Kogeya, yang
berusia 19 tahun pada Mei dan disebut oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua
Barat sebagai brigadir jenderal dan komandannya di daerah Nduga, setelah
mengambil alih jabatan itu dari ayahnya Silas Elmin Kogeya, yang dilaporkan
meninggal beberapa tahun lalu.
Tidak jelas berapa banyak remaja yang terlibat langsung
dalam konflik atau peran spesifik apa yang mereka mainkan, tetapi dilihat dari
foto dan video yang telah beredar, tampaknya ada puluhan dari mereka.
Victor Mambor, editor situs berita Papua Tabloid Jubi,
mengatakan kepada AP ia secara tak terduga dihubungi oleh sekelompok 20 pejuang
pada Januari ketika melaporkan krisis kemanusiaan di Nduga. Ribuan warga sipil
telah terlantar akibat tindakan keras keamanan menyusul serangan Desember yang
menewaskan 19 pekerja konstruksi. Tiga perempat dari kelompok itu merupakan
remaja putra, sekitar 15-16 tahun, katanya.
“Kelompok ini tidak banyak bicara. Mereka hanya berbicara
tentang ‘Kami bukan penjahat, bukan teroris, kami berjuang untuk rakyat kami,'”
katanya.
“Para remaja itu tidak memiliki harapan di tanah mereka
sendiri,” kata Mambor. “Tidak ada pekerjaan untuk mereka jika mereka
menyelesaikan sekolah. Banyak prajurit yang berasal dari desanya. Mungkin
satu-satunya harapan mereka untuk hidup adalah dengan angkat senjata.”
Kelompok-kelompok yang berkampanye untuk mengakhiri
penggunaan tentara anak mengatakan bahwa mereka kadang-kadang direkrut secara
paksa tetapi juga ada kemungkinan mereka bergabung dengan militer dan kelompok
bersenjata karena tekanan budaya, untuk perlindungan atau uang untuk keluar
dari kemiskinan. Anak-anak dalam konflik, baik sebagai kombatan atau dalam
peran lain seperti kuli angkut, menghadapi risiko tinggi dilecehkan, dibunuh,
atau cacat, dan mereka yang selamat dapat menderita masalah psikologis dan sosial
yang mendalam.
Papua tidak disebutkan dalam laporan tahunan Sekjen PBB
tentang negara-negara dan kelompok-kelompok yang menggunakan tentara anak-anak,
dan kesadaran internasional tentang situasi di Papua rendah. Larangan Indonesia
terhadap jurnalis dan organisasi asing yang ingin beroperasi di kawasan ini
membuat masalah ini sebagian tersembunyi dari perhatian dunia.
Kelompok-kelompok HAM telah mengkritik daftar PBB tersebut karena dipolitisasi
dan tidak lengkap.
Luasnya Papua menjadikannya seperempat dari luas daratan
Indonesia dan kaya akan hutan tropis dan sumber daya mineral termasuk salah
satu tambang emas dan tembaga terbesar di dunia. Meski begitu, wilayah yang
luas ini tetap berada di luar kendali Indonesia karena terpencil,
bergunung-gunung, dan dipenuhi hutan lebat.
Masuknya migran dari bagian lain Indonesia telah membuat
orang Papua sediri menjadi minoritas yang terpinggirkan secara ekonomi dan
politik di beberapa daerah dataran rendah, menambah pemicu konflik. Tetapi
daerah dataran tinggi terutama oleh orang Papua.
Upaya untuk menghancurkan benteng hutan itu dengan
pembangunan jalan raya trans-Papua telah menjadi pemicu baru dalam konflik.
Jalan raya itu dipandang sebagai ancaman eksistensial bagi orang Papua yang
tengah berjuang dari tingginya kematian bayi, kelaparan, penyebaran HIV/AIDS
dan jumlah kematian yang tidak diketahui sebagai dampak dari operasi militer
Indonesia sejak 1960-an.
Aktivis Papua khawatir jalan raya itu tidak akan
menghasilkan pembangunan ekonomi tetapi justru merampas total tanah mereka.
Sambom, yang menyebut tentara anak yang terlibat dengan
Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat sebagai “anak-anak” dan “pemuda,”
mengatakan anak-anak pejuang kemerdekaan itu tumbuh di hutan, memiliki
“pengalaman pahit karena operasi brutal militer (Indonesia)” dan secara
otomatis menjadi pejuang.
“Situasi ini berlaku di semua dataran tinggi tengah Papua,
yang merupakan daerah konflik perang,” katanya dalam email. “Mereka tumbuh dan
menjadi pejuang kemerdekaan Papua, melanjutkan perjuangan orang tua mereka.”
Dalam sebuah wawancara telepon, dia tidak menjawab
pertanyaan tentang jumlah remaja atau tentara anak atau peran spesifik mereka
dalam konflik. Dia mengatakan anak-anak pejuang Papua tidak bersekolah,
sebagian karena mereka takut akan diculik atau dibunuh oleh TNI.
Humas TNI di Papua, Muhammad Aidi, mengatakan pejuang Papua
yang terbunuh oleh TNI sebagian besar berusia 20-40 tahun. Dia mengatakan dia
belum melihat bukti langsung dari tentara anak tetapi di beberapa daerah
terpencil anak-anak bercita-cita untuk bergabung dengan Tentara Pembebasan
Nasional Papua Barat.
“Jika kita bertanya kepada beberapa anak di daerah terpencil
Mapenduma tentang cita-cita mereka di masa depan, jawaban mereka adalah menjadi
pejuang OPM (Organisasi Papua Merdeka),” katanya. “Karena mereka tidak tahu
dunia luar.”
Dia mengatakan siapa pun, walaupun mereka berusia di bawah
18 tahun, yang menyerang pasukan TNI dengan senjata tidak akan selamat.
“Ancamannya sama dengan orang dewasa yang bisa membunuh kita
dengan senjata mereka,” katanya.(matamatapolitik)