Ribuan
Akun Palsu Facebook dan Twitter terkait Iran Dihapus
Facebook
dan Twitter menghapus ribuan akun palsu, laman, dan grup yang terkait dengan
Iran, setelah adanya informasi tentang akun-akun yang berasal dari Iran yang
menyamar sebagai orang Amerika atau bahkan kandidat Partai Republik untuk
Kongres, yang mengkritik kebijakan pemerintahan Trump di Timur Tengah. Ini
menunjukkan bahwa Iran adalah negara lainnya—selain Rusia, China, dan Korea
Utara—yang juga dapat mengacaukan politik AS.
Oleh:
Alex Ward (Vox)
JurnalPasee - Terdapat
sebuah negara yang kuat dengan kemampuan dunia maya yang luas, yang terus
menggunakan media sosial untuk memengaruhi masyarakat dan politik Amerika
Serikat (AS). Dan dalam hal ini, itu bukan Rusia tapi Iran.
Pada
Selasa (28/5), perusahaan keamanan siber terkemuka FireEye merilis informasi
tentang akun-akun media sosial, yang dibuat antara April 2018 hingga Maret
2019, yang keluar dari Iran dan dengan sengaja menyamar sebagai orang Amerika
dan bahkan kandidat Partai Republik untuk Kongres.
Dalam
beberapa kasus, para pengguna palsu itu berbicara tentang kebijakan keras
pemerintahan Trump terhadap negara Timur Tengah, seperti keputusannya untuk
menunjuk unit militer elit Iran sebagai organisasi teroris pada bulan April
lalu.
Informasi
itu menyebabkan Facebook menghapus sekitar 100 akun, laman, grup, dan bahkan
tiga akun Instagram dari web-nya, mengingat semuanya tampak berasal dari satu
lokasi. Akun-akun ini terlibat dalam “perilaku tidak otentik terkoordinasi yang
berasal dari Iran,” Nathaniel Gleicher, kepala kebijakan keamanan siber
Facebook, menulis dalam sebuah pernyataan. “Aktor-aktor di balik kegiatan ini
menyesatkan orang tentang siapa mereka dan apa yang mereka lakukan.”
Akun-akun
itu difokuskan pada isu-isu regional utama seperti pengaruh Arab Saudi di Timur
Tengah yang masuk akal, karena Arab Saudi adalah saingan regional utama
Iran serta masalah domestik yang mengkhawatirkan di Amerika seperti gerakan pemisahan
diri AS, Gleicher juga mencatat.
Tampaknya
perilaku yang sama terjadi di Twitter. Juga pada Selasa (28/5), Yoel Roth,
kepala integritas situs perusahaan tersebut, mencuit bahwa pada awal Mei,
platform media sosial itu “menghapus lebih dari 2.800 akun tidak asli yang
berasal dari Iran.”
Walau
Roth mencatat akun yang sama yang dilaporkan oleh FireEye, namun Twitter tidak
menerima informasi apa pun sebelum menghapus pengguna palsu tersebut.
“Akun-akun
ini menggunakan serangkaian persona palsu untuk menargetkan percakapan tentang
masalah sosial dan politik di Iran dan secara global,” lanjut Roth dalam sebuah
utas (thread) Twitter. “Beberapa terlibat langsung melalui balasan publik dari
para politisi, jurnalis, dan lainnya.”
Ini
menunjukkan betapa canggih dan luasnya pengaruh online Iran terus berlanjut.
Walau sebagian besar orang berfokus pada ancaman Rusia terutama karena
keberhasilannya yang berdampak pada Pemilihan Presiden 2016 namun
tindakan-tindakan baru-baru ini memperjelas bahwa ada banyak lagi yang perlu
dikhawatirkan menjelang pemungutan suara besar tahun depan.
Jika
pemerintah AS dan perusahaan teknologi terkemuka tidak dapat menemukan cara
komprehensif untuk mengatasi masalah ini segera, kita semua akan hidup dengan
kenyataan baru yang menakutkan di mana disinformasi media sosial dapat
mempengaruhi pemilu dengan sangat cepat.
IRAN TELAH LAMA JADI ANCAMAN UTAMA KEAMANAN SIBER
Menjelang
Pemilu Paruh Waktu 2018, Penasihat Keamanan Nasional AS John Bolton
memperingatkan tentang empat negara yang bertujuan untuk mempengaruhi
pemungutan suara.
Selain
Rusia, ia mengatakan kepada Martha Raddatz dari ABC News Agustus lalu, “Saya
dapat mengatakan dengan pasti bahwa ini adalah masalah keamanan nasional tentang
campur tangan China, campur tangan Iran, dan campur tangan Korea Utara,
sehingga kami mengambil langkah untuk mencoba dan mencegahnya.”
Itu
masuk akal, karena para ahli mengatakan bahwa keempat negara itu adalah negara
yang paling dapat mempengaruhi Amerika dengan kemampuan dunia maya mereka.
Tetapi
negara-negara itu semua memiliki alasan berbeda untuk menargetkan Amerika
Serikat. James Lewis, seorang pakar keamanan dunia maya di wadah pemikir Center
for Strategic and International Studies di Washington, mengatakan kepada
penulis Agustus lalu, bahwa Iran mungkin memiliki alasan khusus untuk
melakukannya sekarang.
“Mungkin
tergoda untuk mencoba sesuatu” sebagai “pembalasan” karena Trump menarik AS
keluar dari kesepakatan nuklir Iran, katanya. Trump menarik AS dari perjanjian
tersebut pada Mei 2018, yang telah menyebabkan banyak pernyataan marah dan
bahkan konfrontasi selama berminggu-minggu, yang dikhawatirkan beberapa pihak
dapat berubah menjadi perang besar-besaran.
Ada
banyak aktivitas berbahaya Iran dalam beberapa tahun terakhir. Mulai tahun
2011, misalnya, Iran menyerang lebih dari 40 bank Amerika termasuk JPMorgan
Chase dan Bank of America. Serangan itu membuat bank mengalami kesulitan
melayani pelanggannya, dan pelanggan mengalami kesulitan menggunakan layanan
bank.
Dan
hanya beberapa hari setelah wawancara Bolton, Facebook mengumumkan penghapusan
sekitar 650 laman, grup, dan akun yang terhubung dengan Rusia dan Iran, yang
menargetkan pengguna Facebook di Amerika Serikat, Inggris, Amerika Latin, dan
Timur Tengah.
Secara
keseluruhan, jelas bahwa Iran mungkin marah dengan kebijakan Trump saat ini,
tetapi Iran sudah lama menganggap AS sebagai target utama serangan sibernya. Terlepas
dari upaya terbaik Amerika, kampanye Iran kemungkinan akan terus berlanjut di
samping upaya Rusia, China, dan Korea Utara selama bertahun-tahun yang akan
datang.
“Keempatnya
adalah lawan kami dalam perang jenis baru ini,” kata Lewis kepada penulis.
(sumber:matamatapolitik)Salam JurnalPasee