Siapakah Muslim Cyber Army ?
Polisi baru saja merilis kasus
hoax dan ujaran kebencian yang disebut-sebut dilakukan sebuah kelompok
“terorganisir” bernama The Family Muslim Cyber Army (MCA).
Oleh : Hersubeno Arief
Jurnalpasee - Ini kali kedua polisi menangkap
kelompok yang disebut memproduksi ujaran kebencian. Sebelumnya adalah Saracen
sidangnya kini tengah berlangsung di Pengadilan.
Kalau menyimak apa yang
disampaikan Direktorat Cyber Crime Mabes Polri, kelompok Family MCA ini sangat
serius dalam memproduksi hoax dan ujaran kebencian di media sosial. Mereka
bahkan sudah membentuk divisi-divisi. Bahkan disebut mempunyai akademi tempur
dan sniper alias penembak jitu.
Organisasi mereka juga sudah lama
eksis, karena menurut polisi ada yang sudah menjadi anggota selama lima tahun?
Penjelasan polisi ini cukup mengagetkan para pegiat medsos.
Aktivis Muhammadiyah dan juga
pegiat medsos Mustofa Nahrarwadaya sampai kaget dan bingung dengan pengakuan
ini. Sebab yang namanya MCA bukanlah sebuah organisasi resmi, namun sebuah
fenomena sosial yang mencuat kepermukaan menjelang Pilkada DKI 2017.
Bila dihitung mulai hiruk pikuk
saat jutaan umat Islam turun ke jalan pada saat terjadi penistaan agama oleh
mantan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), maka MCA umurnya belum
sampai dua tahun.
Ahok keseleo lidah pada saat
menyampaikan pidato di Kepulauan Seribu 27 September 2016. Setelah itu jutaan
umat Islam turun ke jalan dalam berbagai Aksi Bela Islam (ABI). Bersamaan
dengan itu muncul fenomena gerakan sosial para aktivis medsos muslim yang
menjadi backbone ABI.
Mereka ini kebanyakan generasi
muda muslim perkotaan yang terdidik dan melek teknologi. Mereka adalah generasi
native digital yang semangat (ghiroh) keagamaannya sedang tinggi-tingginya.
Para aktivis ini jumlah sangat
besar dan membuat tim sosmed pendukung Ahok yang sebelumnya sangat digdaya
menjadi tak berdaya. Mereka seperti gerombolan lebah yang mendengung, menyerbu
dan menyengat akun-akun lain yang diidentifikasi sebagai musuh. Saking besarnya
jumlahnya banyak yang menyebutnya sebagai Mega Muslim Cyber Army (MMCA).
Kendati besar, mereka sama sekali
tidak terorganisir. Tidak ada yang namanya pengurus, struktur organisasi,
kantor, apalagi markas komando. Nama MCA atau MMCA juga berasal dari para
pengamat dan media.
Mereka hanya disatukan oleh
sebuah concern bersama berupa advokasi terhadap umat. Khusus dalam Pilkada DKI
adalah menangnya cagub dan cawagub muslim.
Kalau toh ada yang bisa disebut
sebagai pimpinan dalam gerakan ini, mereka adalah para influencer. Pegiat
medsos berpengaruh yang followernya puluhan sampai ratusan ribu, bahkan ada
yang jutaan. Pasukannya adalah para netizen dan buzzer.
Figur-figur terkenal seperti duo
pimpinan DPR Fahri Hamzah, Fadlizon adalah politisi yang punya ratusan ribu
follower.
Begitu juga tokoh agama seperti
Aa Gym, Ustad Arifin Ilham, dan Ustad Yusuf Mansur adalah para influencer yang
punya follower bahkan sampai jutaan.
Kalau toh mau disebut sebagai
komandan atau pimpinan, para influencer inilah para “komandan,” MCA. Cuitan
mereka biasanya langsung didengungkan (buzz) oleh para buzzer.
Sejumlah politisi maupun parpol
diketahui mempunyai buzzer. Mereka bekerja secara profesional, atau atas dasar
afiliasi politik, maupun keagamaan. Namun dalam kasus MCA, mereka tidak selalu
terafiliasi secara politik maupun hubungan patron klien dengan influencer.
Mereka biasanya disatukan oleh
suatu isu bersama. Misalnya gubernur muslim di DKI, atau dalam konteks Pilpres
2019 munculnya figur capres-cawapres yang lebih berpihak kepada umat. Namun
dalam soal pilihan politik dalam hal ini parpol, pilihan mereka berbeda-beda.
Jadi yang disebut MCA adalah kelompok yang cair.
Kendati cair, tidak terstruktur
apalagi terorganisasi, kekuatan MCA ini memang sungguh dahsyat. Keberhasilan
konsolidasi dan pengerahan jutaan orang dalam beberapa ABI, harus diakui dapat
terwujud karena kekuatan medsos dan gigihnya para pegiat MCA.
Kedahsyatan mereka kembali
terkonfirmasi dalam isu nonton bareng Film G30S/PKI, reuni Alumni 212, dan Aksi
Bela Palestina. Serbuan ratusan ribu netizen terhadap akun medsos Presiden
Jokowi pasca insiden Piala Presiden dapat diduga sebagian besar juga melibatkan
MCA. Mereka yang menjadi pendukung Anies-Sandi sangat marah dan kecewa karena
Anies dicegah Paspampres ketika akan mendampingi Jokowi menyerahkan piala ke
Persija.
Berbagai fakta diatas menunjukkan
MCA telah menjadi gerakan sosial yang mampu mendorong pembentukan publik opini
dan perubahan peta kekuatan dalam pertarungan politik.
Polisi harus bisa mengungkap
siapa sebenarnya kelompok yang mengaku sebagai family Muslim Cyber Army ini?
Jangan sampai berkembang isu liar, kasus ini merupakan upaya membungkam
kelompok-kelompok yang kritis dan berseberangan dengan pemerintah.
Benarkah mereka merupakan bagian
dari kelompok-kelompok MCA, ataukah hanya mengaku-aku saja untuk meraih
keuntungan secara finansial?
Apakah mereka kelompok
kepentingan lain yang mengaku sebagai MCA sebagai strategi pembusukan dari
dalam? Atau ada kelompok yang ingin mengadu domba antar umat beragama dengan
menghembus-hembuskan isu SARA? Kalau mereka benar pegiat medsos, jejak
digitalnya gampang dilacak.
Semua harus diungkap oleh polisi
secara transparan. Semua kelompok penyebar hoax, ujaran kebencian, baik yang
kritis maupun yang mendukung pemerintah harus diperlakukan sama. Perang melawan
hoax dan ujaran kebencian harus menjadi komitmen dan concern kita bersama.
Salam Jurnalpasee