Sidang sengketa Pilpres 2019. (Foto: Antara Foto)
Sidang MK Siaran Langsung, Siapa Untung ?
Penayangan sidang sengketa Pilpres 2019 secara langsung
lewat televisi boleh jadi penting untuk urusan transparansi. Meski demikian,
siaran ini bisa saja memiliki dampak lain.
Jurnalpasee - Bak pertandingan sepak bola, persidangan sengketa Pilpres
2019 di Mahkamah Konstitusi (MK) selama beberapa waktu terakhir disiarkan
secara langsung oleh stasiun televisi tanah air. Masyarakat yang lazimnya tak
pernah menyaksikan jalannya proses peradilan kini seperti tertarik oleh magnet
dari persidangan tersebut.
Memang, siaran proses persidangan semacam ini bukanlah yang
pertama kali terjadi di Indonesia. Meski demikian, sidang sengketa Pilpres 2019
ini boleh jadi adalah salah satu yang paling menyita perhatian terlihat dari
berbagai obrolan yang hadir akibat persidangan tersebut.
Beragam pembicaraan ini boleh jadi tak hanya hadir akibat
dari sifat sidang yang berpotensi menentukan arah negeri ini selama lima tahun
ke depan. Sorotan masyarakat juga dapat terjadi karena sikap para saksi yang
dihadirkan dan kesaksian mereka. Semua gerak-gerik saksi tersebut disiarkan
secara masif oleh televisi sehingga menimbulkan respons dari masyarakat.
Terlihat bahwa penyiaran sidang di MK ini memiliki pengaruh
terhadap sikap masyarakat kepada proses hukum tersebut. Lalu seperti apa
sebenarnya penyiaran sidang sengketa Pilpres 2019 ini dapat ditelisik secara
lebih lanjut?
Demi Transparansi
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, persidangan yang
disiarkan secara langsung selama berjam-jam oleh televisi bukanlah hal yang
pertama kali terjadi. Selama beberapa waktu terakhir, hal ini sudah terjadi
beberapa kali untuk kasus yang memang menyita perhatian banyak orang.
Salah satu siaran proses persidangan paling diminati di
Indonesia boleh jadi adalah kasus kopi Sianida yang melibatkan Jessica Kumala
Wongso. Kala itu, media-media televisi nasional nyaris non-stop menayangkan
proses hukum kasus tersebut secara langsung.
Jika melihat praktiknya di dunia secara keseluruhan,
persidangan yang disiarkan secara langsung awalnya bukanlah hal yang lazim.
Persidangan dalam kasus O.J. Simpson di Amerika Serikat (AS) terkait pembunuhan
mantan istrinya merupakan salah satu kasus ternama yang mendapatkan sorotan
kamera para awak media.
Di luar persidangan yang sifatnya pengadilan, siaran
langsung juga dapat berlaku untuk proses yang sifatnya hearing atau rapat
dengar pendapat di tingkat parlemen. Salah satu kasus teranyar yang menyita
perhatian adalah ketika CEO raksasa media sosial Facebook, Mark Zuckerberg yang
menjalani proses hearing di Senat Amerika.
Kala itu, proses hearing tersebut seolah menjadi pengingat
bagi masyarakat AS terkait dengan kualitas para senator mereka. Sidang tersebut
memberikan kesan bahwa mereka tak cukup memahami cara kerja Facebook, tetapi
terus berupaya terlihat relevan di hadapan orang sekaliber Zuckerberg. Di sisi
lain, Zuckerberg terlihat cukup superior jika dibandingkan dengan para senator tersebut.
Dalam kondisi yang ideal, penyiaran secara terbuka proses
persidangan semacam ini boleh jadi adalah hal yang penting dan diperlukan
masyarakat. Transparansi menjadi hal yang dapat diwujudkan melalui sidang yang
dibuka dan diliput secara terang-terangan oleh media.
Namun, di luar itu, bagi stasiun televisi, persidangan
semacam ini juga bisa menjadi peluang bagi mereka untuk meraup untung. Rating
televisi bisa saja terdongkrak terutama jika kasus yang hadir di layar-layar
masyarakat adalah kasus yang mendapatkan perhatian besar. Salah satu
gambarannya adalah sidang kasus Jessica yang sempat tembus posisi 15 besar,
suatu hal yang jarang terjadi untuk tayangan serumit proses persidangan.
Meningkatkan Kepercayaan
Pada kondisi yang sangat ideal, siaran persidangan seperti
dalam kasus sengketa Pilpres 2019 boleh jadi adalah hal yang diperlukan.
Transparansi dan keterbukaan proses menjadi hal yang diperlukan seiring dengan
kerap munculnya putusan sidang yang dianggap “ajaib” oleh masyarakat.
Menurut Stephan Grimmelikhuijsen dari Utrecht University,
transparansi dalam proses peradilan ini memiliki dampak yang cukup positif.
Berdasarkan penelitiannya, transparansi ini memiliki pengaruh positif dalam hal
kepercayaan kepada lembaga peradilan.
Grimmelikhuijsen menggambarkan bahwa transparansi melalui
persidangan yang ditayangkan oleh televisi ini dapat memiliki efek beragam
kepada para penonton. Berdasarkan temuannya, tingkat kepercayaan yang paling
tinggi ditunjukkan oleh penonton yang memiliki pengetahuan menengah mengenai
proses persidangan.
Salah satu yang menjadi perhatian para praktisi hukum di
Amerika Serikat misalnya, sorotan kamera ini dapat memberikan pengaruh kepada
keterangan para saksi. Daniel M. Kolkey misanya menyebut bahwa sorotan kamera
dapat mempengaruhi kemauan saksi untuk berkooperasi dan juga mengganggu privasi
mereka.
Para praktisi hukum juga kerap menyoroti bahwa para saksi
ini kerap mengalami kegugupan manakala harus mengungkapkan kesaksian di hadapan
kamera. Meski begitu, bagi beberapa praktisi yang lain hal ini dianggap belum
bisa dibuktikan secara saintifik.
Memicu Penerimaan
Berdasarkan kondisi-kondisi tersebut, memang perlu diakui
bahwa keterbukaan proses sidang sengketa Pilpres 2019 ini dapat memberikan
dampak positif kepada lembaga peradilan yang kerap disorot. Kepercayaan
masyarakat yang hampir sirna bisa saja diselamatkan melalui proses ini.
MK di Indonesia sempat dilanda krisis kepercayaan cukup
berat ketika dua hakimnya harus berurusan dengan KPK. Kasus mantan Ketua MK
Akil Mochtar dan kasus mantan hakim MK Patrialis Akbar membuat mereka harus
bisa membuktikan diri sebagai institusi yang bisa dipercaya.
Di satu sisi, hal ini penting untuk menjaga hasil dari
persidangan agar mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Penyiaran persidangan
secara terbuka ini bisa saja meredam suara sumbang seiring dengan adanya
kepercayaan dari masyarakat kepada proses yang terjadi. Dalam konteks ini,
penerimaan masyarakat terhadap hasil bisa saja lebih mudah muncul akibat
rangkaian sidang yang diwartakan secara masif.
Terlepas dari hal itu, kepercayaan yang berujung pada
penerimaan hasil ini dapat bersumber dari keterangan saksi yang dihadirkan oleh
tim hukum Prabowo-Sandi. Seperti disebutkan di atas, saksi persidangan yang
disorot oleh kamera memiliki kecenderungan untuk menghadapi kondisi tertentu.
Jika dilihat, sebagian besar saksi tergolong ke dalam
masyarakat awam. Saksi yang hadir bisa saja mengalami kegugupan tidak hanya
karena minimnya pengetahuan tentang proses persidangan, tetapi juga karena
sorotan kamera. Selain itu, seperti yang disebut sebelumnya, perkara privasi
dan juga keamanan mereka juga bisa saja membuat para saksi ini tak terlalu
superior ketika menyampaikan kesaksian di depan kamera.
Secara spesifik, kualitas saksi yang hadir boleh jadi memang
tak setara dengan Zuckerberg saat menghadiri hearing dengan senat AS. Oleh
karena itu, jika dalam kasus Zuckerberg, siaran dapat membuat penyidang
terlihat buruk ketimbang yang disidang, dalam kasus sidang MK, hal ini bisa
berlaku sebaliknya.
Berdasarkan hal tersebut, siaran persidangan ini bisa saja
menguntungkan KPU dan juga kubu Jokowi-Ma’ruf seiring dengan keterangan saksi
yang tak setara Zuckerberg itu diwartakan secara terang-terangan. Mereka bisa
bernapas sedikit lega karena masyarakat sudah bisa menonton bahwa saksi yang
hadir terlalu jauh untuk dibandingkan dengan Zuckerberg.
Memang, masih mungkin ada yang mengritik sikap hakim saat
melontarkan pertanyaan kepada para saksi. Meski demikian, jika melihat
perbandingan antara sikap Zuckerberg dan para saksi Prabowo, sulit untuk membayangkan
bahwa para saksi tersebut akan dianggap lebih digdaya ketimbang para hakim
sebagaimana penggambaran Zuckerberg di hadapan Senat Amerika.
Pada akhirnya, semua tentu berharap hasil yang diputuskan
oleh MK ini tak terpengaruh oleh perhatian masyarakat yang menonton lewat
televisi. Masyarakat tentu berharap bahwa transparansi sidang murni akan
berdampak pada kualitas persidangan, sehingga kepercayaan pada lembaga peradilan
dapat meningkat.(matamatapolitik)
Salam Jurnalpasee