Tipuan Konstitusionalisme
Oleh : Margarito Kamis (Doktor HTN, Staf Pengajar FH. Univ Khairun Ternate)
Jurnalpasee - Begitu gerak-gerik Bung Karno,
Bung Hatta, Sutardjo, dan lainnya yang terbakar rindu di tahun 1930-an untuk
Indonesia yang merdeka, teridentifikasi membahayakan eksistensi kolonialis,
maka kolonialis segera menyodorkan pembatasan. Rapat diintai, dimata-matai dan
bila tetap keras kepala maka pasal harzai artikelen dalam KUHP memburu, membawa
mereka, misalnya Bung Karno ke pengadilan.Kolonialis tidak hanya takut pada
senjata, tetapi juga takut pada pikiran. Pada zaman itu berpikir tak pernah tak
jadi hal bebas hambatan.
Kolonialis punya banyak cara
mengekang kebebasan berpikir. Berpikir bagi kolonialis yang imprialistik itu
hanya bisa sejauh berada pada garis politik yang didefenisikan dan ditentukan
sendiri oleh kolonialis. Dalam Fikiran Rakyat, sebuah Majalah Politik Populer
dengan Bung Karno sebagai Pimpinan redaksi edisi nomor 2 tangal 8 Juli 1932
pada halaman 9 memuat satu artikel menarik. Artikel itu berisi keterangan “agar
supaya rakyat Indonesia tinggal tetap bersemangat kodok, maka mereka itu
dikasih injeksi bahwa bangsa kulit putih itu seribu kali lebih pandai daripada
bangsa Indonesia sendiri.
Pada bagian lanjutan artikel itu
ditulis “kepada rakyat diterangkan bahwa kedatangan bangsa kulit putih disini
itu untuk menyebarluaskan kesopanan dan pengetahuan. Lihatlah mesin-mesin,
pabrik-pabrik apakah itu bukan bikinan bangsa kulit putih? Kata orang kulit
putih, kita bikin rumah sakit bagi kaum buruh rakyat Indonesia. Anak-anak
bangsa Indonesia kita didik supaya pintar, supaya mereka bisa bekerja menjadi
klerk, opzetter, insinyur di kantor-kantor dan di onderneming-onderneming. Jika
tidak ada kita tentulah rakyat Indonesia itu akan tinggal bodoh.
Esensinya
Kolonialis cukup jelas, memandang
orang Indonesia yang kala itu disebut pribumi dengan makna bodoh, tak
terpelajar, jorok, berperadaban rendah. Orang-orang bodoh ini harus dididik,
diajari, dan karena itu pula pribumi menemukan kenyataan sebagai warga kelas
rendahan, kelas tiga dalam struktur sosial dan hukum. Cara berpikir itu
dilegalisasikan dalam pasal 131 Indische Staatregeling, setara UUD saat ini.
Hubungan tipikal feodalistik
–tuan hamba- dan imprialistik –bebas dan terjajah- yang dalam semua sudutnya
bersifat diksriminatif dan merendahkan martabat manusia itu, jelas
menjengkelkan. Menjengkelkan karena hal berbicara, terutama politik yang
merupakan hal termurah yang paling mungkin dilakukan setiap orang dalam
menimbang nasibnya, juga dibatasi.
Bisa dibayangkan Bapak H. Hasan
di Garut yang tidak mau menjual berasnya kepada Kolonialis harus menemukan
dirinya dituduh melawan pemerintah. Daulat rakyat macam apa yang bisa disodori
untuk membenarkan represi tipikal imprialistik ini? Daulat rakyat macam apa
yang bisa disodorkan untuk membenarkan pemenjaraan Bung Hatta misalnya di
Belanda dengan tuduhan mengada-ada?
Relasi tuan-hamba, patron klien
tipikal feodalisme Eropa, sebuah tatanan yang mengakui hak hanya menjadi milik
kelompok pertama dan kedua, tidak untuk orang kebanyakan “hamba dan lainnya
diluar kelompok pertama” itulah perangsang paling jelas dalam melambungkan
gagasan daulat rakyat. Gagasan ini kelak ditransformasi dengan cara
mempertalikannya dengan hukum. Wujudnya bukan kemauan penguasa sebagai dasar
kehidupan bermasyarakat diselengarakan, melainkan kemauan semua orang, dan
kemauan semua orang itu terkristalisasi dalam hukum.
Hukum jenis ini disepakati
sebagai hukum tertinggi, konstitusi. Hukum jenis ini ditahbiskan sebagai
atribut sosial politik paling hebat, karena yang utama dan terpenting diatur
didalamnya adalah hak setiap orang untuk hidup. Hak untuk hidup harus diakui
sebagian bisa diciptakan oleh pembentuk UU, tetapi sebagian tidak. Hak yang
tidak diciptakan itu karena dalam sifatnya hak itu sedari awal telah ada
sebagai penanda kemanusiaannya.
Hak ini melekat pada setiap orang
sebagai mahluk mulia ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hak ini sedari mula
dimaksudkan sebagai bekal untuk hidup, bertebaran dimuka bumi dengan misi
memuliakan-Nya. Daulat rakyat dan daulat hukum yang menghasilkan
konstitusionalisme karena itu dalam sifat dan esensi filosofisnya muncul dan
eksis sebagai sebuah gagasan oposisi, dalam makna menghentikan relasi
tuan-hamba bertipikal feodlistik yang, kelak ditransformasi di negeri-negeri
jajahan secara imprialistik.
Konstitusionalisme tidak pernah
sama dan sebangun dengan hukum yang di dalamnya skema organisasi negara
didefinisikan.
Konstitusionalisme dalam esensi
filosofis memanggil siapapun pada kesempatan pertama - memuliakan harkat dan
martabat manusia, memastikan mereka sebagai orang merdeka dalam arti seutuhnya
sebagai manusia - ciptaan Allah Subhanahu Wata’ala. Hal terakhir tak bisa
dikurangi dengan alasan apapun, termasuk keamanan nasional yang dalam
pemerintahan G.Bush yunior memuncaki kehidupan politik Amerika. Itu bukan
karena keamanan nasional tak penting, tetapi pendefenisian dan penetapannya
terlalu sering menyediakan celah.
Menguap
Semangat itu didengungkan dengan
sangat terang oleh Bung Hatta ketika PPKI menyiapkan draft UUD 1945. Takut
terjadi kesewenang-wenangan pemerintah kelak setelah merdeka, Bung Hatta gigih
memperjuangkan agar UUD yang sedang dirancang memiliki ketentuan yang menjamin
warga negara memiliki hak menyatakan pendapat. Bung Hatta berhasil dengan
gagasannya itu. Lahirlah pasal 27 UUD 1945 sebelum diubah.Tidak itu saja dan
ini mengagumkan pendidikan dijamin, orang-orang fakir dan miskin masuk dalam
skema konstitusionalisme khas orang tua yang arif bijaksana ini. Bahkan
kekayaan alam Indonesia harus didedikasikan untuk kesejahteraan warga negara
Indonesia. Semua impian konstitusionalisme hebat itu dengan mudah ditemukan
dalam UUD 1945 sejak awal dibentuk.
Satu hal harus dikemukakan pada
kesempatan ini konstitusionalisme dari asalnya tidak pernah bicara uang, modal
dalam bentuk apapun, kecuali memungkinkan semua orang dengan cara yang sah bisa
menguasai sumber daya ekonomi dan politik. Membiarkan orang bebas sebebasnya
dalam apapun urusannya sendiri. Di Indonesia kebebasan, dapat dikatakan tanpa
batas didemonstrasikan secara sangat fenomenal pada periode demokrasi
parlementer, demokrasi yang Bung Karno sifatkan sebagai demokrasi impor.
Berdansa di sepanjang garis
kebebasan bicara dan berserikat, ditunjuk dengan sangat meyakinkan oleh Daniel
S. Lev Indonesianis kawakan dibidang politik hukum ini, dengan akibat yang
tidak bisa dibilang sederhana.
Demokrasi cukup maju, tetapi
tidak banyak yang bisa dicapai dibidang pembangunan, dibidang kesejahteraan
rakyat. Pada saat yang sama pemodal besar, yang selalu lebih cerdik mengenal
keunggulan tersembunyi sekaligus mematikan dalam konstitusionalisme merambah
dengan semangat eksploitasi khas imprialisme atas sumberdaya ekonomi.
Hentikan demokrasi ugal-ugalan
itu, dan datanglah demokrasi terpimpin, yang tentu dengan kalkulasi politik
untuk kehebatan Indonesia kebebasan bicara dibatasi lagi. Demokrasi terpimpin
segera beraksi dengan menyodorkan, memakai hukum meletakan jalur kebebasan
berserikat dan menyampaikan pendapat. Rapat politik harus memiliki izin dan
kebebasan bicara politik ditentukan derajatnya.
Berada di luar track itu,
penjara. Tidak itu saja, demokrasi terpimpin segera unggul dengan kemampuannya
“mengarang tuduhan makar” untuk disematkan, misalnya kepada Buya Hamka, Ulama
besar nan hebat ini. Hebat
betul keunggulan demokrasi
terpimpin dalam urusan ini, karena seperti ditulis reformasi tetap menyediakan
pasal 87 dan 107 KUHP dan juga UU ITE. Kini hukum-hukum ini sedang berada
dimusim produktif.
Sejumlah orang kini terpenjara
dengan hukum-hukum ini. Tidak banyak diksi yang tersedia untuk berkelit dari
terjangan hukum-hukum konstitusionalisme reformasi ini.
Selalu seperti itu semua gerak
turun konstitusionalisme, ditandai dengan institusi-institusi pengawasan yang
riang gembira dengan eksistensi innstitusionalnya, membebek politik acak kadul
yang selalu menanjak, dan membiarkan fungsi pengawasannya beterbangan dibawa
angin politik korup. Menariknya sebusuk itu sekalipun, demokrasi selalu
berbicara konsitusionalisme dengan nada optimistik. Begtulah tipuan
konstitusionalisme.
Salam Jurnalpasee